Jakarta: Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dihukum 5 tahun penjara. Edhy dianggap terbukti menerima suap terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun," kata JPU KPK Ronald Ferdinand Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juni 2021.
Jaksa juga menuntut Edhy dikenakan denda pidana sebesar Rp400 juta. Bila tak sanggup membayar, Edhy harus dibui selama enam tahun.
Edhy juga dikenakan hukuman pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp9.687.447.219 dan US$77.000. Berikutnya pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok.
Jaksa mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, perbuatan Edhy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.
"Terdakwa selaku penyelenggara negara, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan tidak memberikan teladan yang baik sebagai pejabat publik," ujar Ronald.
Baca: ICW Tagih Pendalaman Kasus Pinangki ke KPK
Sedangkan hal meringankan, Edhy dinyatakan bersikap sopan saat persidangan dan belum pernah dihukum. Selain itu, sebagian aset terdakwa akan disita untuk pengembalian hasil korupsi.
Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor BBL. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Edhy menerima uang US$77 ribu atau sekitar Rp1,12 miliar melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa, Pratama Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Perbuatan Edhy dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa juga menuntut lima anak buah Edhy yang berstatus terdakwa. Mereka dinilai terbukti sebagai pihak penerima dan perantara suap izin ekspor BBL.
Kelimanya, yakni staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe dituntut 4 tahun penjara. Kemudian denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta dan Safri serta asisten pribadi Edhy, Amiril Mukminin,
dituntut selama 4 tahun 6 bulan penjara. Ketiganya juga didenda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jakarta: Jaksa penuntut umum (JPU)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo dihukum 5 tahun penjara. Edhy dianggap terbukti menerima suap terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun," kata JPU KPK Ronald Ferdinand Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juni 2021.
Jaksa juga menuntut Edhy dikenakan denda pidana sebesar Rp400 juta. Bila tak sanggup membayar, Edhy harus dibui selama enam tahun.
Edhy juga dikenakan hukuman pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp9.687.447.219 dan US$77.000. Berikutnya pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok.
Jaksa mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, perbuatan Edhy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.
"Terdakwa selaku penyelenggara negara, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan tidak memberikan teladan yang baik sebagai pejabat publik," ujar Ronald.
Baca:
ICW Tagih Pendalaman Kasus Pinangki ke KPK
Sedangkan hal meringankan, Edhy dinyatakan bersikap sopan saat persidangan dan belum pernah dihukum. Selain itu, sebagian aset terdakwa akan disita untuk pengembalian hasil korupsi.
Edhy dinilai terbukti
menerima suap Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor BBL. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Edhy menerima uang US$77 ribu atau sekitar Rp1,12 miliar melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa, Pratama Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Perbuatan Edhy dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa juga menuntut lima anak buah Edhy yang berstatus terdakwa. Mereka dinilai terbukti sebagai pihak penerima dan perantara suap izin ekspor BBL.
Kelimanya, yakni staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe dituntut 4 tahun penjara. Kemudian denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta dan Safri serta asisten pribadi Edhy, Amiril Mukminin,
dituntut selama 4 tahun 6 bulan penjara. Ketiganya juga didenda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)