Jakarta: Tuntutan hukuman mati untuk terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dipertanyakan. Pasalnya, hukuman mati dianggap tak memberikan efek jera.
"Apa yang menjadi dasar JPU mengajukan tuntutan mati terhadap terdakwa, mengingat perkara-perkara korupsi cukup banyak, apa dasar jaksa penuntut umum (JPU) untuk memberikan efek jera," ujar Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri, melalui pesan singkat, Kamis, 23 Desember 2021.
Menurut dia, seharusnya JPU belajar dari perkara lain seperti narkoba dan pembunuhan berencana. Meski pidana mati diberikan pada kedua terdakwa kasus itu, namun tak ada efek jera yang muncul, terbukti dengan berulangnya kasus serupa.
"Di mana hal tersebut jelas bahwa tuntutan hukuman mati tidak memberikan efek jera sama sekali," kata Arif.
Baca: Ultra Petita Wajar, Kejagung Minta Hakim Berani Hukum Mati Heru Hidayat
Dia mengatakan saat ini hukuman mati tengah dimoratorium secara tidak langsung. Mestinya, kata Arif, Kejaksaan melihat hal tersebut dan tak menuntut hukuman mati.
Solusinya, kata dia, lebih baik memberikan hukuman selain hukuman mati. Di sisi lain, Divisi Hukum Kontras Auliya Rayyan menilai hukuman mati melemahkan proses hukum.
Auliya menilai jenis hukuman itu tidak dapat memberi pelajaran pada pelaku kejahatan, termasuk, tidak memberikan efek jera. Selain itu, dia mengkritik banyaknya kasus korupsi dengan pemotongan masa hukuman dengan alasan remeh seperti pelaku sangat menyesal dan lainnya.
"Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus ini hukuman mati cuma hanya jadi basa-basi belaka dan bisa saja berubah," jelas Auliya.
Dia menyarankan perbaikan pengelolaan pemerintahan untuk memperkecil celah korupsi. Sehingga, kegiatan rasuah susah dilakukan penyelenggara negara.
"Yang mesti diubah tidak cuma sistem penghukuman untuk koruptor, tapi juga kebijakan-kebijakan lain yang dapat mempersempit pergerakan pejabat publik untuk melakukan korupsi," kata Auliya.
Heru Hidayat didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor. Namun, dalam tuntutan, jaksa menuntut Heru Hidayat dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ketentuan mengenai ancaman hukuman mati.
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer, mengatakan hal tersebut karena dalam persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan dalam perkara PT ASABRI. Heru dinilai secara bersama-sama menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083.
"Di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp 12.643.400.946.226," kata Leonard melalui keterangan tertulis, Selasa, 21 Desember 2021.
Jakarta: Tuntutan hukuman mati untuk terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (
ASABRI) dipertanyakan. Pasalnya, hukuman mati dianggap tak memberikan efek jera.
"Apa yang menjadi dasar JPU mengajukan tuntutan mati terhadap terdakwa, mengingat perkara-perkara korupsi cukup banyak, apa dasar jaksa penuntut umum (JPU) untuk memberikan efek jera," ujar Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri, melalui pesan singkat, Kamis, 23 Desember 2021.
Menurut dia, seharusnya JPU belajar dari perkara lain seperti narkoba dan pembunuhan berencana. Meski pidana mati diberikan pada kedua terdakwa kasus itu, namun tak ada efek jera yang muncul, terbukti dengan berulangnya kasus serupa.
"Di mana hal tersebut jelas bahwa tuntutan
hukuman mati tidak memberikan efek jera sama sekali," kata Arif.
Baca:
Ultra Petita Wajar, Kejagung Minta Hakim Berani Hukum Mati Heru Hidayat
Dia mengatakan saat ini hukuman
mati tengah dimoratorium secara tidak langsung. Mestinya, kata Arif, Kejaksaan melihat hal tersebut dan tak menuntut hukuman mati.
Solusinya, kata dia, lebih baik memberikan hukuman selain hukuman mati. Di sisi lain, Divisi Hukum Kontras Auliya Rayyan menilai hukuman mati melemahkan proses hukum.
Auliya menilai jenis hukuman itu tidak dapat memberi pelajaran pada pelaku kejahatan, termasuk, tidak memberikan efek jera. Selain itu, dia mengkritik banyaknya kasus korupsi dengan pemotongan masa hukuman dengan alasan remeh seperti pelaku sangat menyesal dan lainnya.
"Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus ini hukuman mati cuma hanya jadi basa-basi belaka dan bisa saja berubah," jelas Auliya.
Dia menyarankan perbaikan pengelolaan pemerintahan untuk memperkecil celah korupsi. Sehingga, kegiatan rasuah susah dilakukan penyelenggara negara.
"Yang mesti diubah tidak cuma sistem penghukuman untuk koruptor, tapi juga kebijakan-kebijakan lain yang dapat mempersempit pergerakan pejabat publik untuk melakukan korupsi," kata Auliya.
Heru Hidayat didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor. Namun, dalam tuntutan, jaksa menuntut Heru Hidayat dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ketentuan mengenai ancaman hukuman mati.
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer, mengatakan hal tersebut karena dalam persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan dalam perkara PT ASABRI. Heru dinilai secara bersama-sama menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083.
"Di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp 12.643.400.946.226," kata Leonard melalui keterangan tertulis, Selasa, 21 Desember 2021.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)