Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Indonesian (UI) Gandjar Laksmana Bonaprapta menyebut penyebab tuntutan pada kasus penganiayaan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (Novel) Baswedan sangat ringan ada di penyidikan. Proses hukum di polisi dianggap tidak maksimal.
Gandjar membeberkan indikasi penyidikan tidak optimal. Pertama, pasal yang digunakan untuk menjerat tersangka tidak sesuai fakta peristiwa. Awalnya penyidik menggunakan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kenapa Pasal 170? Padahal Pasal 170 itu adalah bab ketertiban umum. Apakah peristiwa ini terkait dengan tindak pidana ketertiban umum," kata Gandjar dalam diskusi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Minggu, 21 Juni 2020.
Selanjutnya, penyidik dianggap mengabaikan keterangan saksi kunci. Novel sejatinya sudah mengajukan beberapa saksi kunci yang dianggap memiliki informasi penting pengungkapan kasus.
"Ada saksi penting yang tidak dimintakan keterangan," ungkap dia.
Selain itu, barang bukti kasus penyiraman air keras yang diajukan dianggap tidak sempurna. Dengan begitu, pembuktian kasus dianggap lemah.
"Itu baju yang kena siram ada potongannya sehingga tidak utuh, itu tidak ditampilkan," sebut dia.
Baca: Presiden Tak Mencampuri Kasus Novel Baswedan
Masalah pada penyidikan ini berdampak pada tuntutan yang dianggap ringan. Jaksa penuntut umum (JPU) hanya meminta hakim memvonis terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dengan hukuman satu tahun penjara. Keduanya dinilai terbukti bersalam dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Keduanya dianggap melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal-hal yang memberatkan tuntutan terdakwa yakni mencederai kehormatan institusi Polri. Hal yang meringankan ialah terdakwa mengakui perbuatannya.
Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Indonesian (UI) Gandjar Laksmana Bonaprapta menyebut penyebab tuntutan pada kasus penganiayaan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (Novel) Baswedan sangat ringan ada di penyidikan. Proses hukum di polisi dianggap tidak maksimal.
Gandjar membeberkan indikasi penyidikan tidak optimal. Pertama, pasal yang digunakan untuk menjerat tersangka tidak sesuai fakta peristiwa. Awalnya penyidik menggunakan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kenapa Pasal 170? Padahal Pasal 170 itu adalah bab ketertiban umum. Apakah peristiwa ini terkait dengan tindak pidana ketertiban umum," kata Gandjar dalam diskusi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Minggu, 21 Juni 2020.
Selanjutnya, penyidik dianggap mengabaikan keterangan saksi kunci. Novel sejatinya sudah mengajukan beberapa saksi kunci yang dianggap memiliki informasi penting pengungkapan kasus.
"Ada saksi penting yang tidak dimintakan keterangan," ungkap dia.
Selain itu, barang bukti kasus penyiraman air keras yang diajukan dianggap tidak sempurna. Dengan begitu, pembuktian kasus dianggap lemah.
"Itu baju yang kena siram ada potongannya sehingga tidak utuh, itu tidak ditampilkan," sebut dia.
Baca:
Presiden Tak Mencampuri Kasus Novel Baswedan
Masalah pada penyidikan ini berdampak pada tuntutan yang dianggap ringan. Jaksa penuntut umum (JPU) hanya meminta hakim memvonis terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dengan hukuman satu tahun penjara. Keduanya dinilai terbukti bersalam dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Keduanya dianggap melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal-hal yang memberatkan tuntutan terdakwa yakni mencederai kehormatan institusi Polri. Hal yang meringankan ialah terdakwa mengakui perbuatannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)