Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merespons soal dugaan anggota Polri terlibat kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anggota Polri yang terbukti terlibat dinilai harus diproses pidana.
"Jika anggota Polri diduga melakukan tindak pidana, yang bersangkutan harus diproses pidana, dan ditambah lagi dengan diproses etik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada Medcom.id, Jumat, 16 Februari 2024.
Poengky mengatakan anggota Polri harus dikenakan hukuman maksimal bila terbukti bersalah. Sehingga, ada efek jera bagi diri sendiri dan anggota lain. Namun, pengawas eksternal Polri ini menyerahkan penanganan kasus pungli ini ke Lembaga Antirasuah.
"Kami menyerahkan mekanisme pemeriksaan serta proses hukumnya pada KPK. Tidak ada satupun orang yang kebal hukum," tegas dia.
Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK membeberkan tiga pegawai Rutan KPK yang terseret skandal pungli belum disidangkan. Salah satunya anggota Polri.
"Itu mantan pelaksana tugas (Plt) kepala rutan, kemudian karutan yang sekarang, dan satu orang lagi PNYD (pegawai negeri yang dipekerjakan) dari Polri," kata anggota Dewas KPK Albertina Ho di Jakarta, Jumat, 16 Februari 2024.
Albertina tidak memerinci identitas anggota Polri itu. Tapi, Karutan yang saat ini menjabat, yakni Ahmad Fauzi.
"Masih ada tiga yang belum disidangkan," ucap Albertina.
90 Pegawai KPK Terlibat Pungli
Total 90 pegawai Lembaga Antirasuah terlibat dalam kasus pungli rutan KPK. Sebanyak 78 pegawai KPK lainnya dinyatakan melanggar etik karena menerima pungli di rutan.
Ke-78 pegawai diberi hukuman meminta maaf secara terbuka langsung. Hukuman itu dinilai yang tertinggi dalam sanksi etik untuk aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan aturan yang berlaku.
Sebanyak 12 pegawai lainnya dilepaskan dari sanski etik meski terbukti menerima pungli di rutan KPK. Alasan Dewas Lembaga Antirasuah membiarkan mereka yakni karena penerimaan terjadi sebelum instansi pemantau terbangun.
Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merespons soal dugaan anggota Polri terlibat kasus dugaan pungutan liar (
pungli) di Rumah Tahanan (
Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anggota
Polri yang terbukti terlibat dinilai harus diproses pidana.
"Jika anggota Polri diduga melakukan tindak pidana, yang bersangkutan harus diproses pidana, dan ditambah lagi dengan diproses etik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada
Medcom.id, Jumat, 16 Februari 2024.
Poengky mengatakan anggota Polri harus dikenakan hukuman maksimal bila terbukti bersalah. Sehingga, ada efek jera bagi diri sendiri dan anggota lain. Namun, pengawas eksternal Polri ini menyerahkan penanganan kasus pungli ini ke Lembaga Antirasuah.
"Kami menyerahkan mekanisme pemeriksaan serta proses hukumnya pada KPK. Tidak ada satupun orang yang kebal hukum," tegas dia.
Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK membeberkan tiga pegawai Rutan KPK yang terseret skandal pungli belum disidangkan. Salah satunya anggota Polri.
"Itu mantan pelaksana tugas (Plt) kepala rutan, kemudian karutan yang sekarang, dan satu orang lagi PNYD (pegawai negeri yang dipekerjakan) dari Polri," kata anggota Dewas KPK Albertina Ho di Jakarta, Jumat, 16 Februari 2024.
Albertina tidak memerinci identitas anggota Polri itu. Tapi, Karutan yang saat ini menjabat, yakni Ahmad Fauzi.
"Masih ada tiga yang belum disidangkan," ucap Albertina.
90 Pegawai KPK Terlibat Pungli
Total 90 pegawai Lembaga Antirasuah terlibat dalam kasus pungli rutan KPK. Sebanyak 78 pegawai KPK lainnya dinyatakan melanggar etik karena menerima pungli di rutan.
Ke-78 pegawai diberi hukuman meminta maaf secara terbuka langsung. Hukuman itu dinilai yang tertinggi dalam sanksi etik untuk aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan aturan yang berlaku.
Sebanyak 12 pegawai lainnya dilepaskan dari sanski etik meski terbukti menerima pungli di rutan KPK. Alasan Dewas Lembaga Antirasuah membiarkan mereka yakni karena penerimaan terjadi sebelum instansi pemantau terbangun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)