Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang uji materiel Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Pasalnya, hakim yang menyidangkan hanya ada enam dari sembilan hakim konstitusi sehingga kuasa hukum pemohon Feri Amsari meminta sidang ditunda.
Feri mengatakan membatasi jumlah minimal hakim dalam sidang. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan sembilan hakim konstitusi, akan tetapi kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK.
“UU membatasi jumlah minimal hakim konstitusi dalam menyelenggarakan sidang adalah tujuh, kecuali hal-hal tertentu yang diperbolehkan oleh undang-undang,” ucap Feri kepada Ketua sidang Hakim Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta, Selasa, 6 Desember 2022.
Anwar sebelumnya menjelaskan bahwa tiga hakim konstitusi lain tidak dapat hadir karena ada tugas lain. Untuk dapat melanjutkan sidang, Mahkamah memperluas panel.
Menurut Feri, istilah panel yang diperluas pernah diperdebatkan dan tidak digunakan dalam perbaikan undang-undang di MK. Oleh karena itu, pemohon memilih untuk memohonkan penundaan sidang.
“Mohon izin bukan kita lancang atau tidak hormat, kita menunggu jumlah hakim konstitusi sesuai undang-undang untuk menyelenggarakan persidangan,” ucap Feri.
Anwar Usman mengatakan karena adanya keberatan dari kuasa hukum, sidang perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 itu ditunda hingga pukul 11.00 WIB, Rabu, 14 Desember 2022.
“Insyaallah majelisnya bisa sesuai dengan undang-undang yang diharapkan oleh kuasa pemohon,” ucap Anwar.
Permohonan perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiel Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Senin, 26 September 2022, para pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan dibatasi oleh Pasal 5, para korban pelanggaran hak asasi manusia sulit memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab, menurut para pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, yang menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang uji materiel
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Pasalnya, hakim yang menyidangkan hanya ada enam dari sembilan hakim konstitusi sehingga kuasa hukum pemohon Feri Amsari meminta sidang ditunda.
Feri mengatakan membatasi jumlah minimal hakim dalam sidang. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan sembilan hakim konstitusi, akan tetapi kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK.
“UU membatasi jumlah minimal hakim konstitusi dalam menyelenggarakan sidang adalah tujuh, kecuali hal-hal tertentu yang diperbolehkan oleh undang-undang,” ucap Feri kepada Ketua sidang Hakim Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta, Selasa, 6 Desember 2022.
Anwar sebelumnya menjelaskan bahwa tiga hakim konstitusi lain tidak dapat hadir karena ada tugas lain. Untuk dapat melanjutkan sidang, Mahkamah memperluas panel.
Menurut Feri, istilah panel yang diperluas pernah diperdebatkan dan tidak digunakan dalam perbaikan undang-undang di MK. Oleh karena itu, pemohon memilih untuk memohonkan penundaan sidang.
“Mohon izin bukan kita lancang atau tidak hormat, kita menunggu jumlah hakim konstitusi sesuai undang-undang untuk menyelenggarakan persidangan,” ucap Feri.
Anwar Usman mengatakan karena adanya keberatan dari kuasa hukum, sidang perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 itu ditunda hingga pukul 11.00 WIB, Rabu, 14 Desember 2022.
“Insyaallah majelisnya bisa sesuai dengan undang-undang yang diharapkan oleh kuasa pemohon,” ucap Anwar.
Permohonan perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiel Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Senin, 26 September 2022, para pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan dibatasi oleh Pasal 5, para korban pelanggaran hak asasi manusia sulit memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab, menurut para pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari
International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, yang menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)