Jakarta: Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menilai hasil poligraf sering tidak relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Pasalnya, alat itu hanya menilai dari respons fisiologis tubuh manusia semata.
Reza menyampaikan alat tersebut tidak bisa mengukur bagaimana pernyataan dan kenyataan sebenarnya. Dia menilai alat seperti itu tak tepat dijadikan acuan penuh dalam persidangan, termasuk dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J yang menjerat Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo, beserta 3 terdakwa lainnya.
Menurut Reza, ada tiga aspek yang harus dikedepankan bila hasil produk non hukum dijadikan dasar sebagai alat bukti. Yakni, terkait etik, metode, dan admissibiity atau penerimaan oleh majelis hakim.
Di samping itu, dia menjelaskan belum ada aturan main penggunaan alat atau hasil tes poligraf dijadikan dasar hukum. Paling mungkin, kata dia, hanya digunakan untuk bahan pertimbangan, bukan menjadi penentu.
"Dengan kata lain, andaikan hasil pemeriksaan poligraf itu diajukan ke majelis hakim, boleh jadi majelis hakim di ruang sidang A dan di ruang B berbeda penyikapan, karena belum ada aturan yang mengikat, mereka (hakim) harus menerima atau menolak, jadi sangat individual" ujar Reza, dalam dialog bersama Hotman Paris, dilansir pada Kamis, 5 Januari 2023.
Selain itu, lanjut dia, kebohongan dan kejujuran tidak bisa diukur dengan persentase. Kebohongan dan kejujuran itu variabelnya hanya dua, yaitu hitam atau putih.
"Kalau ada kejujuran 93 persen, kebohongan 7 persen , lantas kita mau mengatakan apa tentang orang ini. Alat poligraf tidak mengukur kenyataan, hanya mengukur respons fisiologis manusia," tutur Reza.
Menurut dia, poligraf hanya menakar pernyataan dan reaksi fisiologis yang menyertainya bukan membandingkan antara pernyataan dan kenyataan. Dia mencontohkan suhu badan naik, di suatu kesempatan ketika seseorang berada dalam panggung ditonton banyak orang, ketika dites pasti sesuai kategori Poligraf.
"Saya menganggap poligraf adalah alat yang tidak tepat untuk proses penegakan hukum," ujar dia.
Senada, mantan Kabareskrrim Komjen (Purn) Susno Duadji menilai hasil tes kebohongan alias Poligraf, sering tidak akurat, karena hanya merespons dari berbagai perubahan fisiologis tubuh, seperti denyut jantung, peredaran darah. Padahal, respons seperti itu, bisa terjadi akibat banyak hal.
“Sampai saat sekarang, hasil tes kebohongan tidak akurat dan tidak dapat menjadi alat bukti. Justru alat kebohongan seringkali menjadi alat yang berbohong. Jadi yang benar adalah, alat itu yang berbohong," jelas Susno.
Jakarta: Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menilai hasil
poligraf sering tidak relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Pasalnya, alat itu hanya menilai dari respons fisiologis tubuh manusia semata.
Reza menyampaikan alat tersebut tidak bisa mengukur bagaimana pernyataan dan kenyataan sebenarnya. Dia menilai alat seperti itu tak tepat dijadikan acuan penuh dalam persidangan, termasuk dalam persidangan kasus pembunuhan
Brigadir J yang menjerat Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo, beserta 3 terdakwa lainnya.
Menurut Reza, ada tiga aspek yang harus dikedepankan bila hasil produk non hukum dijadikan dasar sebagai alat bukti. Yakni, terkait etik, metode, dan
admissibiity atau penerimaan oleh majelis hakim.
Di samping itu, dia menjelaskan belum ada aturan main penggunaan alat atau hasil tes
poligraf dijadikan dasar hukum. Paling mungkin, kata dia, hanya digunakan untuk bahan pertimbangan, bukan menjadi penentu.
"Dengan kata lain, andaikan hasil pemeriksaan poligraf itu diajukan ke majelis hakim, boleh jadi majelis hakim di ruang sidang A dan di ruang B berbeda penyikapan, karena belum ada aturan yang mengikat, mereka (hakim) harus menerima atau menolak, jadi sangat individual" ujar Reza, dalam dialog bersama Hotman Paris, dilansir pada Kamis, 5 Januari 2023.
Selain itu, lanjut dia, kebohongan dan kejujuran tidak bisa diukur dengan persentase. Kebohongan dan kejujuran itu variabelnya hanya dua, yaitu hitam atau putih.
"Kalau ada kejujuran 93 persen, kebohongan 7 persen , lantas kita mau mengatakan apa tentang orang ini. Alat poligraf tidak mengukur kenyataan, hanya mengukur respons fisiologis manusia," tutur Reza.
Menurut dia, poligraf hanya menakar pernyataan dan reaksi fisiologis yang menyertainya bukan membandingkan antara pernyataan dan kenyataan. Dia mencontohkan suhu badan naik, di suatu kesempatan ketika seseorang berada dalam panggung ditonton banyak orang, ketika dites pasti sesuai kategori Poligraf.
"Saya menganggap poligraf adalah alat yang tidak tepat untuk proses penegakan hukum," ujar dia.
Senada, mantan Kabareskrrim Komjen (Purn) Susno Duadji menilai hasil tes kebohongan alias Poligraf, sering tidak akurat, karena hanya merespons dari berbagai perubahan fisiologis tubuh, seperti denyut jantung, peredaran darah. Padahal, respons seperti itu, bisa terjadi akibat banyak hal.
“Sampai saat sekarang, hasil tes kebohongan tidak akurat dan tidak dapat menjadi alat bukti. Justru alat kebohongan seringkali menjadi alat yang berbohong. Jadi yang benar adalah, alat itu yang berbohong," jelas Susno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)