Jakarta: Efek jera pada pemberantasan korupsi di Indonesia dianggap amat penting. Pasalnya, kendati penegakan hukum terus berlangsung, belum ada tanda-tanda kasus korupsi di Indonesia melandai.
"Banyaknya kepala daerah yang sudah dimasukkan penjara akibat korupsi tak kunjung membuat jera karena selain hukumannya ringan, juga sistem politik yang mahal," papar pengamat kebijakan publik asal Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada Media Indonesia, Sabtu, 20 November 2021.
Trubus sangsi imbauan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kepada kepala daerah agar menjadi teladan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam menjaga integritas dan pencegahan rasuah akan didengar. Pernyataan itu dinilai harapan klasik yang sulit terwujud.
"Melihat kondisi atau kenyataan seperti itu rasanya harapan Ketua KPK (Firli Bahuri) hanya isapan jempol," ungkap dia.
Baca: OTT Disebut Obat untuk Menyehatkan Institusi
Menurut dia, kepala daerah sudah terkungkung dalam lingkaran setan berupa utang dari modal materi dalam suksesi pemilihan dan janji politik kepada para pemilik modal. Penyebabnya berasal dari mahalnya biaya politik.
Ia mengatakan KPK tidak perlu lagi menasihati kepala daerah supaya terbebas korupsi. Pasalnya, sudah banyak contoh nyata bagi mereka ketika melakukan rasuah.
"Tinggal KPK fokus memberantas korupsi. Ketika ada kepala daerah diduga melakukan perbuatan hina tersebut langsung saja diselidiki. Juga KPK perlu gerak cepat ketika terdapat laporan kepala daerah yang korupsi dari masyarakat," ujar dia.
Trubus menjelaskan rasuah di lingkungan pejabat daerah seperti fenomena puncak gunung es. Selain praktik ijon, banyak korupsi dilakukan dengan modus lain, seperti kebijakan, pengadaan, perizinan dan lainnya.
"Hal sama seperti terjadi seperti 100-an ASN menerima bansos. Seharusnya itu langsung ditindak," terang dia.
Pemberantasan korupsi, lanjut dia, harus komprehensif. Pengawasan harus dimulai dari hulu, yakni perencanaan hingga tahap implementasi di lapangan.
"Tanpa pengawasan ketat kepala daerah akan berupaya mengembalikan modal politik. Meskipun dipilih rakyat namun modal yang dikeluarkan banyak sementara gaji sedikit sehingga harus korupsi untuk mengembalikan modal," pungkas dia.
Jakarta: Efek jera pada
pemberantasan korupsi di Indonesia dianggap amat penting. Pasalnya, kendati penegakan hukum terus berlangsung, belum ada tanda-tanda
kasus korupsi di Indonesia melandai.
"Banyaknya kepala daerah yang sudah dimasukkan penjara akibat korupsi tak kunjung membuat jera karena selain hukumannya ringan, juga sistem politik yang mahal," papar pengamat kebijakan publik asal Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada
Media Indonesia, Sabtu, 20 November 2021.
Trubus sangsi imbauan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) Firli Bahuri kepada kepala daerah agar menjadi teladan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam menjaga integritas dan pencegahan rasuah akan didengar. Pernyataan itu dinilai harapan klasik yang sulit terwujud.
"Melihat kondisi atau kenyataan seperti itu rasanya harapan Ketua KPK (Firli Bahuri) hanya isapan jempol," ungkap dia.
Baca:
OTT Disebut Obat untuk Menyehatkan Institusi
Menurut dia, kepala daerah sudah terkungkung dalam lingkaran setan berupa utang dari modal materi dalam suksesi pemilihan dan janji politik kepada para pemilik modal. Penyebabnya berasal dari mahalnya biaya politik.
Ia mengatakan KPK tidak perlu lagi menasihati kepala daerah supaya terbebas korupsi. Pasalnya, sudah banyak contoh nyata bagi mereka ketika melakukan rasuah.
"Tinggal KPK fokus memberantas korupsi. Ketika ada kepala daerah diduga melakukan perbuatan hina tersebut langsung saja diselidiki. Juga KPK perlu gerak cepat ketika terdapat laporan kepala daerah yang korupsi dari masyarakat," ujar dia.
Trubus menjelaskan rasuah di lingkungan pejabat daerah seperti fenomena puncak gunung es. Selain praktik ijon, banyak korupsi dilakukan dengan modus lain, seperti kebijakan, pengadaan, perizinan dan lainnya.
"Hal sama seperti terjadi seperti 100-an ASN menerima bansos. Seharusnya itu langsung ditindak," terang dia.
Pemberantasan korupsi, lanjut dia, harus komprehensif. Pengawasan harus dimulai dari hulu, yakni perencanaan hingga tahap implementasi di lapangan.
"Tanpa pengawasan ketat kepala daerah akan berupaya mengembalikan modal politik. Meskipun dipilih rakyat namun modal yang dikeluarkan banyak sementara gaji sedikit sehingga harus korupsi untuk mengembalikan modal," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)