Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Tarik Kerugian BLBI Lebih Optimal dengan UU Perampasan Aset

Cahya Mulyana • 28 Agustus 2021 04:10
Jakarta: Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yuris Rezha Kurniawan memandang pengembalian kerugian negara dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa optimal. Negara mesti memiliki payung hukum yang kuat untuk mengambil hak dari seluruh obligor dengan terlebih dulu mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
 
"Soal kasus BLBI ini sebenarnya jika ditarik mundur ke belakang, komitmen penegakan hukumnya sudah lemah sejak KPK mengeluarkan SP3 terhadap tersangka Sjamsul Nursalim," ujar Yuris kepada Media Indonesia, Jumat, 27 Agustus 2021.
 
Meskipun pemerintah berkomitmen merampas asetnya, kata Yuris, masyarakat kurang yakin akan bisa dilakukan secara optimal. Salah satu faktornya adalah RUU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan.

"Padahal jika RUU yang sudah lama diwacanakan oleh publik tersebut disahkan, akan menjadi instrumen hukum untuk merampas aset kejahatan secara signifikan. Karena kasus BLBI ini termasuk melibatkan jumlah aset yang cukup besar," ujar dia.
 
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan penagihan hak negara atas dana BLBI mutlak dilaksanakan. Pemerintah dalam upaya hak tagih negara atas piutang negara dana BLBI berkoordinasi dengan berbagai lembaga.
 
"Ini langkah awal dalam rangka menyelesaikan hak tagih negara atas dana BLBI atas 1.672 bidang tanah dengan 15.288.175 meter persegi," kata Mahfud.
 
Baca: Pemerintah Sita Rumah Mewah Aset BLBI
 
Pemerintah mengharapkan obligor atau debitur memenuhi kewajiban menyelesaikan utang-utang kepada negara. Dia menekankan proses yang pemerintah lakukan merupakan proses hukum perdata. Sebab, hubungan antara obligor dan negara adalah hubungan hukum perdata sesuai putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.
 
"Hubungan keperdataan itu ditetapkan atau diputuskan oleh Mahkamah Agung penetapan atau hubungan yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan para obligor," kata Mahfud.
 
Mahfud mengatakan meskipun pemerintah akan mengupayakan selesai sebagai hukum perdata, bukan tidak mungkin di dalam perjalanannya bisa mengandung tindak pidana. Misalnya pemberian keterangan palsu, pengalihan aset terhadap yang sah sudah dimiliki negara, penyerahan dokumen-dokumen palsu, dan sebagainya.
 
"Itu bisa saja menjadi hukum pidana. Kami berharap ini bisa selesai sebagai hukum perdata sesuai dengan tenggat, yaitu Desember 2023," kata Mahfud.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan