Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan sejumlah perkara. Salah satunya perkara nomor 96/PUU-XX/2022 yang dimohonkan Rudi Hartono Iskandar untuk menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Desember 2022.
Anwar menyatakan Rudi memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun, pokok permohonan Rudi tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan MK telah mencermati permohonan Rudi. Ternyata, pokok permasalahannya ialah lamanya waktu pemeriksaan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara.
Masalah itu membuat Rudi merasa tidak ada jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Sebab, nasibnya terkatung-katung selama kurang lebih lima tahun.
"Hal demikian bukan persoalan konstitusionalitas Pasal 7 ayat 1 KUHAP, tapi masalah implementasi proses pemeriksaan suatu perkara pidana," jelas Suhartoyo.
Dalam kasus ini, Rudi mendalilkan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat 1 UU KUHAP. Kedua pasal dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Rudi berkaca dari pengalamannya yang mendapat 11 surat perintah penyidikan (sprindik) untuk kasus dan objek yang sama. Sprindik itu terkait Laporan Polisi Nomor LP/656/VI/2016/BARESKRIM pada 27 Juni 2016.
Rudi merupakan tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun. Status tersangka ditetapkan pada 17 Januari 2022.
Lantas, Rudi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Supaya pengadilan membatalkan penetapan tersangka terhadap dirinya.
Penetapan tersangka akhirnya dinyatakan tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. Akibat surat itu, Rudi harus bolak-balik diperiksa penyidik hingga tujuh tahun. Rudi merasa pasal a quo tidak mengatur sprindik sehingga polisi dapat sewenang-wenang.
Rudi memohon agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan rekayasa hukum. Termasuk diskriminasi hukum terhadap suatu kasus sangkaan tindak pidana yang berpotensi terjadi pemerasan oleh penyidik.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan sejumlah perkara. Salah satunya perkara nomor 96/PUU-XX/2022 yang dimohonkan Rudi Hartono Iskandar untuk
menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata
Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Desember 2022.
Anwar menyatakan Rudi memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan
a quo. Namun, pokok permohonan Rudi tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan MK telah mencermati permohonan Rudi. Ternyata, pokok permasalahannya ialah lamanya waktu pemeriksaan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara.
Masalah itu membuat Rudi merasa tidak ada jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Sebab, nasibnya terkatung-katung selama kurang lebih lima tahun.
"Hal demikian bukan persoalan konstitusionalitas Pasal 7 ayat 1 KUHAP, tapi masalah implementasi proses pemeriksaan suatu perkara pidana," jelas Suhartoyo.
Dalam kasus ini, Rudi mendalilkan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat 1 UU KUHAP. Kedua pasal dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Rudi berkaca dari pengalamannya yang mendapat 11 surat perintah penyidikan (sprindik) untuk kasus dan objek yang sama. Sprindik itu terkait Laporan Polisi Nomor LP/656/VI/2016/BARESKRIM pada 27 Juni 2016.
Rudi merupakan tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun. Status tersangka ditetapkan pada 17 Januari 2022.
Lantas, Rudi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Supaya pengadilan membatalkan penetapan tersangka terhadap dirinya.
Penetapan tersangka akhirnya dinyatakan tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. Akibat surat itu, Rudi harus bolak-balik diperiksa penyidik hingga tujuh tahun. Rudi merasa pasal a quo tidak mengatur sprindik sehingga polisi dapat sewenang-wenang.
Rudi memohon agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan rekayasa hukum. Termasuk diskriminasi hukum terhadap suatu kasus sangkaan tindak pidana yang berpotensi terjadi pemerasan oleh penyidik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)