Jakarta: Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan menghimpun masukan dan saran dari kelompok aktivis, praktisi, dan asosiasi pers. Masukan dan saran ini menjadi bahan untuk mengkaji UU ITE.
"Usai menghimpun masukan dan saran dari pihak pelapor dan terlapor, berikutnya tim akan menghimpun saran dan masukan dari aktivis, masyarakat sipil, praktisi, dan asosiasi pers," kata Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo melalui keterangan tertulis, Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021.
Dia mengatakan seluruh masukan dan saran akan didiskusikan oleh tim kajian. Kemudian, sub tim I dan sub tim II melanjutkan pembahasan pada pertemuan pekan depan.
"Saya berharap anggota bisa memanfaatkan waktu yang ada sambil kita menunggu kegiatan berikutnya. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengadakan diskusi-diskusi terkait dengan berbagai masukan, saran, pandangan dari berbagai narasumber mulai dari sesi pertama sampai ketiga pada siang hari ini," kata Sugeng.
Tim kajian sudah menerima masukan dari beberapa orang yang pernah berurusan dengan UU ITE. Antara lain, Ravio Patra, Prita Mulyasari, Nikita Mirzani, dan Muannas Al Aidid.
Artis Nikita Mirzani tidak setuju UU ITE dihapus. Dia justru meminta aparat bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
"UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada barbar netizennya," kata Nikita.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid. Dia meminta pemerintah berhati-hati merevisi UU ITE agar tidak muncul persoalan baru.
Muannas mengatakan jangan sampai Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang dituding sebagai pasal karet justru dihapus. Hal itu akan menimbulkan saling menghujat di media sosial.
“Jadi saya kira ini harus hati-hati dalam persoalan revisi UU ITE," jelas Muannas.
Baca: Tim Kajian UU ITE Dengar Masukan Pelapor dan Terlapor
Sementara itu, aktivis yang pernah terjerat UU ITE Ravio Patra menjelaskan hukum harus menciptakan ketertiban, bukan memunculkan keributan di kalangan masyarakat. "Saya dikata-katain, difitnah dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan?” ujar Ravio.
Ravio menceritakan pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait UU ITE. Bagi Ravio, UU ITE merupakan bentuk pengekangan kebebasan sipil.
"Saya sebenarnya secara peribadi penginnya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami bahwa secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet. Cuma yang terjadi di Indonesia menurut saya terlalu cepat terlalu bringas tidak ada moderasinya, berlebihan responnya," ujar dia.
Ibu rumah tangga yang juga pernah bersinggungan dengan UU ITE, Prita Mulyasari, menekankan pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum. Generasi muda dinilai perlu diajarkan bagaimana tata krama di media sosial.
"Karena saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial, dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di undang-undang ITE ini," ujar Prita.
Jakarta: Tim Kajian
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (
UU ITE) akan menghimpun masukan dan saran dari kelompok aktivis, praktisi, dan asosiasi pers. Masukan dan saran ini menjadi bahan untuk mengkaji UU ITE.
"Usai menghimpun masukan dan saran dari pihak pelapor dan terlapor, berikutnya tim akan menghimpun saran dan masukan dari aktivis, masyarakat sipil, praktisi, dan asosiasi pers," kata Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo melalui keterangan tertulis, Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021.
Dia mengatakan seluruh masukan dan saran akan didiskusikan oleh tim kajian. Kemudian, sub tim I dan sub tim II melanjutkan pembahasan pada pertemuan pekan depan.
"Saya berharap anggota bisa memanfaatkan waktu yang ada sambil kita menunggu kegiatan berikutnya. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengadakan diskusi-diskusi terkait dengan berbagai masukan, saran, pandangan dari berbagai narasumber mulai dari sesi pertama sampai ketiga pada siang hari ini," kata Sugeng.
Tim kajian sudah menerima masukan dari beberapa orang yang pernah berurusan dengan UU ITE. Antara lain, Ravio Patra, Prita Mulyasari, Nikita Mirzani, dan Muannas Al Aidid.
Artis Nikita Mirzani tidak setuju UU ITE dihapus. Dia justru meminta aparat bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
"UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada barbar netizennya," kata Nikita.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid. Dia meminta pemerintah berhati-hati merevisi UU ITE agar tidak muncul persoalan baru.
Muannas mengatakan jangan sampai Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang dituding sebagai pasal karet justru dihapus. Hal itu akan menimbulkan saling menghujat di media sosial.
“Jadi saya kira ini harus hati-hati dalam persoalan revisi UU ITE," jelas Muannas.
Baca: Tim Kajian UU ITE Dengar Masukan Pelapor dan Terlapor
Sementara itu, aktivis yang pernah terjerat UU ITE Ravio Patra menjelaskan hukum harus menciptakan ketertiban, bukan memunculkan keributan di kalangan masyarakat. "Saya dikata-katain, difitnah dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan?” ujar Ravio.
Ravio menceritakan pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait UU ITE. Bagi Ravio, UU ITE merupakan bentuk pengekangan kebebasan sipil.
"Saya sebenarnya secara peribadi penginnya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami bahwa secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet. Cuma yang terjadi di Indonesia menurut saya terlalu cepat terlalu bringas tidak ada moderasinya, berlebihan responnya," ujar dia.
Ibu rumah tangga yang juga pernah bersinggungan dengan UU ITE, Prita Mulyasari, menekankan pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum. Generasi muda dinilai perlu diajarkan bagaimana tata krama di media sosial.
"Karena saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial, dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di undang-undang ITE ini," ujar Prita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)