Suasana di depan Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Medcom.id/Faisal Abdalla
Suasana di depan Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Medcom.id/Faisal Abdalla

Ramai-ramai Gugat Revisi UU MK

Fachri Audhia Hafiez • 04 November 2020 08:24
Jakarta: Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengajukan uji materi atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Aturan yang disahkan 1 September 2020 itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
 
"Koalisi Selamatkan MK menggugat proses pembentukan UU MK yang dibangun dengan fondasi yang cacat formal, antidemokrasi, dan menabrak nilai-nilai negara hukum," kata peneliti KoDe Inisiatif Violla Reininda sekaligus pemohon gugatan dalam keterangan tertulis, Rabu, 4 November 2020.
 
Menurut dia, gugatan dilayangkan karena revisi UU MK tidak mempertimbangkan aspirasi serta kritik publik. Selain itu, pembahasan revisi UU ini dinilai janggal karena hanya membutuhkan waktu tiga hari.

Koalisi Selamatkan MK menilai terdapat enam permasalahan formal dari aturan tersebut. Pertama, pembahasan dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, tergesa-gesa, dan tidak memperlihatkan sense of crisis pandemi virus korona (covid-19).
 
Kedua, pembentukan undang-undang dianggap diwarnai penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Ketiga, rancangan UU MK tidak memenuhi syarat carry over, yakni ketergesaan.
 
"Karena tidak ada kesinambungan dan keberlanjutan dengan draf pada periode sebelumnya, terlihat dari draf dan pengusul rancangan undang-undang yang berbeda," ucap Violla.
 
Keempat, pembentuk UU MK dinilai melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini meliputi kejelasan tujuan, daya guna, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
 
Kelima, naskah akademik revisi UU MK dinilai hanya formalitas belaka. Naskah dengan jumlah 23 halaman itu tidak menjabarkan secara komprehensif analisis mengenai perubahan ketentuan dalam rancangan UU MK.
 
Baca: Hakim Ad Hoc Tipikor Gugat Aturan Masa Jabatan ke MK
 
 

"Permasalahan formal terakhir adalah rancangan Undang-Undang MK berdasar hukum undang-undang yang invalid," ucap Violla.

Alasan uji materi

Sedikitnya terdapat lima hal yang bertautan terkait uji materi ini. Pertama, limitasi latar belakang calon hakim konstitusi usulan Mahkamah Agung (MA) dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul.
 
Menurut Violla, pendaftaran dan pencalonan hakim konstitusi harus terbuka seluas-luasnya untuk semua negarawan. Calon hakim tidak boleh terbatas pada latar belakang profesi hukumnya.
 
Kedua soal penafsiran konstitusional sistem rekrutmen hakim konstitusi. Pemohon meminta MK menafsirkan sistem rekrutmen hakim konstitusi berlaku secara seragam serta dengan standar yang sama pada setiap lembaga pengusul.
 
Ketiga terkait penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi. Usia minimal hakim konstitusi dinilai harus dikembalikan ke usia yang lebih muda yakni 47 tahun agar terdapat regenerasi hakim konstitusi.
 
Keempat menyangkut ketentuan menindaklanjuti putusan MK oleh pembentuk undang-undang. Terakhir soal perpanjangan masa jabatan berlaku untuk hakim petahana.
 
"Perpanjangan masa jabatan wajib berlaku untuk hakim konstitusi yang menjabat pada periode selanjutnya untuk menghindari conflict of interest ataupun menghindari upaya penundukan MK," kata Violla.
 
Gugatan revisi UU MK diajukan sejumlah kelompok masyarakat sipil. Mereka yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, LBH Jakarta, serta Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan