Jakarta: Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, diminta membuktikan mafia tanah yang menyogok petugas pertanahan dan peradilan hingga Rp200 miliar untuk mendapatkan sertifikat tanah. Sofyan diminta menyampaikan perihal mafia tanah berdasarkan bukti.
"Modus praktik mafia tanah yang diungkap Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil perlu pembuktian," kata Ketua Gerakan Nasional (Gernas) 98, Anton Aritonang dalam keterangan tertulis, Kamis, 20 Januari 2022.
Pernyataan itu disampaikan Sofyan dalam seminar nasional bertema "Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan" melalui akun YouTube Komisi Yudisial beberapa waktu lalu. Anton memandang pernyataan Sofyan justru akan berdampak negatif dan menyesatkan karena seakan-akan biaya pengurusan sertifikat tanah mahal.
"Pernyataan Sofyan Djalil sama dengan era orde baru yang mengurus tanah ada biaya mahal. Menteri ATR sudah membuat rakyat takut melakukan pengurusan sertifikat hak milik dan secara tidak langsung menuduh hukum di Indonesia bisa dibayar untuk pengurusan masalah pertanahan," kata Anton.
Dia juga menyoroti praktik mafia tanah ala Sofyan yang mempersoalkan status tanah dengan girik. Padahal, kata Anton, girik merupakan syarat penting dalam pertanahan.
Menurut dia, beberapa kasus sengketa tanah yang berawal pada kepemilikan girik. Anton menyebut tidak semua masyarakat yang mempunyai tanah luas memiliki sertifikat tanah.
Baca: Kejaksaan Diperintahkan Mencermati Isu Mafia Tanah, Pelabuhan, dan Bandara
Mereka hanya bermodalkan girik. Menurut Anton, pemilik tanah tak kunjung memiliki sertifikat karena ada stigma biaya pengurusan sertifikat tersebut mahal.
"Sebanyak 95 persen tanah yang dimiliki rakyat berlabel tanah wasiat sudah pasti tidak punya sertifikat hak milik, dan hak guna. Sebanyak 60 persennya punyanya girik, mereka malas ngurus karena terbebani biaya saat masa orde baru," kata dia.
Di sisi lain, tanah luas yang dimiliki masyarakat saat ini banyak diidentifikasikan sebagai tanah wasiat dan tanah adat. Dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kata dia, tanah itu banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembebasan lahan.
"Jadi, pernyataan Sofyan Djalil bahwa girik tidak menjadi dasar kepemilikan tanah itu salah besar, karena itu (girik) dasar. Tanah wasiat atau tanah waris jarang yang punya sertifikat tanah," ucapnya.
Anton menyebut kasus tanah saat ini semakin banyak dan tidak ada penyelesaian yang dilakukan Menteri ATR/BPN. Alih-alih memerangi, mafia tanah justru ada di dalam BPN.
"Pemerintah harusnya memfasilitasi persoalan ini. Pembebasan lahan itu mafianya 90 persen, ada di birokrasi Kementerian ATR/BPN sendiri dan permasalahan sengketa tanah makin banyak, sudah layaknya Sofyan Djalil punya malu sedikit agar mundur dari jabatannya tanpa harus dipecat," katanya.
Jakarta: Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, diminta membuktikan
mafia tanah yang menyogok petugas
pertanahan dan peradilan hingga Rp200 miliar untuk mendapatkan sertifikat tanah. Sofyan diminta menyampaikan perihal mafia tanah berdasarkan bukti.
"Modus praktik mafia tanah yang diungkap Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil perlu pembuktian," kata Ketua Gerakan Nasional (Gernas) 98, Anton Aritonang dalam keterangan tertulis, Kamis, 20 Januari 2022.
Pernyataan itu disampaikan Sofyan dalam seminar nasional bertema "Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan" melalui akun
YouTube Komisi Yudisial beberapa waktu lalu. Anton memandang pernyataan Sofyan justru akan berdampak negatif dan menyesatkan karena seakan-akan biaya pengurusan
sertifikat tanah mahal.
"Pernyataan Sofyan Djalil sama dengan era orde baru yang mengurus tanah ada biaya mahal. Menteri ATR sudah membuat rakyat takut melakukan pengurusan sertifikat hak milik dan secara tidak langsung menuduh hukum di Indonesia bisa dibayar untuk pengurusan masalah pertanahan," kata Anton.
Dia juga menyoroti praktik mafia tanah ala Sofyan yang mempersoalkan status tanah dengan girik. Padahal, kata Anton, girik merupakan syarat penting dalam pertanahan.
Menurut dia, beberapa kasus sengketa tanah yang berawal pada kepemilikan girik. Anton menyebut tidak semua masyarakat yang mempunyai tanah luas memiliki sertifikat tanah.
Baca:
Kejaksaan Diperintahkan Mencermati Isu Mafia Tanah, Pelabuhan, dan Bandara
Mereka hanya bermodalkan girik. Menurut Anton, pemilik tanah tak kunjung memiliki sertifikat karena ada stigma biaya pengurusan sertifikat tersebut mahal.
"Sebanyak 95 persen tanah yang dimiliki rakyat berlabel tanah wasiat sudah pasti tidak punya sertifikat hak milik, dan hak guna. Sebanyak 60 persennya punyanya girik, mereka malas ngurus karena terbebani biaya saat masa orde baru," kata dia.
Di sisi lain, tanah luas yang dimiliki masyarakat saat ini banyak diidentifikasikan sebagai tanah wasiat dan tanah adat. Dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kata dia, tanah itu banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembebasan lahan.
"Jadi, pernyataan Sofyan Djalil bahwa girik tidak menjadi dasar kepemilikan tanah itu salah besar, karena itu (girik) dasar. Tanah wasiat atau tanah waris jarang yang punya sertifikat tanah," ucapnya.
Anton menyebut kasus tanah saat ini semakin banyak dan tidak ada penyelesaian yang dilakukan Menteri ATR/BPN. Alih-alih memerangi, mafia tanah justru ada di dalam BPN.
"Pemerintah harusnya memfasilitasi persoalan ini. Pembebasan lahan itu mafianya 90 persen, ada di birokrasi Kementerian ATR/BPN sendiri dan permasalahan sengketa tanah makin banyak, sudah layaknya Sofyan Djalil punya malu sedikit agar mundur dari jabatannya tanpa harus dipecat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)