Jakarta: Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo perlu didalami untuk melihat ada atau tidak intervensi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Agus mengaku diminta Jokowi menghentikan penyidikan kasus korupsi KTP-elektronik (e-KTP).
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Pukat) Zaenur Rohman menjelaskan tidak ada satu pun pihak atau pejabat yang berwenang meminta penghentian perkara. Jika ada yang melakukan, bahkan diikuti dengan perbuatan yang mengganggu jalannya penyidikan, bisa masuk kategori obstruction of justice atau merintangi penyidikan.
"Pasal 21 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur soal perbuatan merintangi penyidikan," kata Zaenur, Minggu, 3 Desember 2023.
Zaenur mengatakan apabila permintaan tersebut memang untuk menghentikan kasus korupsi KTP-el, bisa dianggap bentuk intervensi nyata dari presiden kepada KPK. Seluruh pernyataan Agus harus dibuat benderang.
"Memang harus dibuat clear dahulu. Apakah permintaan (Jokowi) tersebut diiringi dengan upaya-upaya merintangi penyidikan, kalau ada itu merupakan sebuah tindak pidana," ungkapnya.
Viral di media sosial pengakuan pimpinan KPK Periode 2015-2019 Agus Rahardjo pernah dipanggil dan dimarahi Presiden Jokowi. Dalam potongan wawancara tersebut, Agus mengatakan hal ini untuk pertama kali ia ungkap ke publik.
"Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak," kata Agus.
Menurut Agus, kala itu ia dipanggil Jokowi karena sang presiden memintanya untuk menghentikan kasus e-KTP yang menyeret nama Setya Novanto, Ketua DPR kala itu.
"Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Presiden sudah marah, baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’," cerita Agus.
"Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov," sambungnya.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah tersebut. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelum ia dipanggil. Lalu, alasan lainnya adalah saat itu masih independen dan tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu," ungkap Agus.
Jakarta: Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo perlu didalami untuk melihat ada atau tidak intervensi Presiden Joko Widodo (
Jokowi). Agus mengaku diminta Jokowi menghentikan penyidikan kasus korupsi KTP-elektronik (e-KTP).
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Pukat) Zaenur Rohman menjelaskan tidak ada satu pun pihak atau pejabat yang berwenang meminta penghentian perkara. Jika ada yang melakukan, bahkan diikuti dengan perbuatan yang mengganggu jalannya penyidikan, bisa masuk kategori
obstruction of justice atau merintangi penyidikan.
"Pasal 21 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur soal perbuatan merintangi penyidikan," kata Zaenur, Minggu, 3 Desember 2023.
Zaenur mengatakan apabila permintaan tersebut memang untuk menghentikan kasus
korupsi KTP-el, bisa dianggap bentuk intervensi nyata dari presiden kepada KPK. Seluruh pernyataan Agus harus dibuat benderang.
"Memang harus dibuat clear dahulu. Apakah permintaan (Jokowi) tersebut diiringi dengan upaya-upaya merintangi penyidikan, kalau ada itu merupakan sebuah tindak pidana," ungkapnya.
Viral di media sosial pengakuan pimpinan KPK Periode 2015-2019 Agus Rahardjo pernah dipanggil dan dimarahi Presiden Jokowi. Dalam potongan wawancara tersebut, Agus mengatakan hal ini untuk pertama kali ia ungkap ke publik.
"Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak," kata Agus.
Menurut Agus, kala itu ia dipanggil Jokowi karena sang presiden memintanya untuk menghentikan kasus e-KTP yang menyeret nama Setya Novanto, Ketua DPR kala itu.
"Saya terus terang, waktu
kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Presiden sudah marah, baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’," cerita Agus.
"Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov," sambungnya.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah tersebut. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelum ia dipanggil. Lalu, alasan lainnya adalah saat itu masih independen dan tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu," ungkap Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)