Jakarta: Hari ini, 21 Mei 2023, tepat 25 tahun reformasi. Namun, belum terlihat keseriusan dari pemerintah untuk menuntaskan persoalan hukum dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada sebelum era reformasi dan sesudahnya.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan Kejaksaan Agung merupakan kunci dari penegakan hukum kasus HAM. Menurut dia, Kejagung tinggal menuntaskan hasil penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional (Komnas) HAM.
"Iya (kuncinya di Kejagung), Jaksa Agung itu kan bagian dari apa yang diperintahkan oleh Presiden (Presiden Joko Widodo)," ujar Wahyudi kepada Medcom.id dilansir pada Minggu, 21 Mei 2023.
Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan 15 dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa Mei 1998. Bukti awal yang merupakan hasil penyelidikan telah ditemukan Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung sejak 2003, namun berkas penyelidikan tersebut masih mondar mandir bagai bola pingpong.
Wahyudi membeberkan Presiden Joko Widodo juga sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat. Hal itu berdasarkan laporan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
"Artinya proses hukum tetap harus dilanjutkan," kata dia.
Mekanisme Hukum Tersedia
Menurut dia, Kejagung bisa mengambil berbagai keputusan dalam mengusut kasus pelanggaran HAM. Misalnya, tidak memproses lebih lanjut hingga ke pengadilan jika memang buktinya tidak lengkap atau saksi dan korban yang dipanggil sudah meninggal dunia.
"Itu kan tinggal melakukan jalur hukum seperti SP3, itu kan terbuka kemungkinan, tetapi yang pasti tidak menggantung hasil penyelidikan Komnas HAM," ujar dia.
Saat ini, dia menilai Kejagung menggantung penyelidikan Komnas HAM. Padahal, mekanisme penegakan hukum tersedia, mekanisme akuntabilitas hukum tersedia.
"Kalau itu tidak dilakukan padahal di satu sisi negara mengakui adanya pelanggaran HAM berat dan mengakui adanya korbannya, kemudian pengadilan itu tidak dibuka, tidak dilanjutkan, itu justru malah istilahnya unwilling ya, tidak ada niat dari negara untuk kemudian menjalankan proses tersebut, padahal mekanismenya tersedia," beber dia.
Tagih Kerja Kejagung
Sementara itu, Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Ahmad Sajali, mengatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Presiden bisa tegas dalam menagih tugas dan menagih kerja keras Kejagung dalam mengusut kasus pelanggaran HAM berat. Sebab, Kejagug yang punya kewenangan untuk menyidik dan menuntut para pelaku pelanggaran HAM berat setelah menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM sebagai penyelidik.
"Kalau dari sisi hukum tata negara kan meskipun Komnas HAM bisa dikatakan sebagai lembaga independen, tetapi Komnas HAM beserta Kejaksaan Agung ada dalam satu ranah kekuasaan eksekutif yang harusnya bisa dikoordinasikan dengan sangat mudah dan sangat intens oleh Kemenko Polhukam jikalau negara ada niat untuk menyelesaikan," ujar dia.
Menurut dia, Menko Polhukam bisa mendapatkan informasi yang jelas kalau kejaksaan merasa ada kekurangan dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Tapi proses itu tidak pernah terlihat dan tidak pernah ada informasi kejelasannya.
"Kalau itu tidak terlaksana, terlihat tidak ada kemauan dari negara untuk bisa menyelesaikannya. Padahal dorongan publik untuk bisa menyelesaikan beban negara, sejarah kelam bangsa Indonesia dalam hari-hari kemerdekaannya, dalam masa orde baru, tidak bisa kunjung selesai hingga 25 tahun pasca kita reformasi," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Hari ini, 21 Mei 2023, tepat 25 tahun reformasi. Namun, belum terlihat keseriusan dari pemerintah untuk menuntaskan persoalan hukum dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada sebelum era reformasi dan sesudahnya.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan
Kejaksaan Agung merupakan kunci dari penegakan hukum kasus HAM. Menurut dia, Kejagung tinggal menuntaskan hasil penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional (Komnas) HAM.
"Iya (kuncinya di Kejagung), Jaksa Agung itu kan bagian dari apa yang diperintahkan oleh Presiden (Presiden Joko Widodo)," ujar Wahyudi kepada
Medcom.id dilansir pada Minggu, 21 Mei 2023.
Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan 15 dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa Mei 1998. Bukti awal yang merupakan hasil penyelidikan telah ditemukan Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung sejak 2003, namun berkas penyelidikan tersebut masih mondar mandir bagai bola pingpong.
Wahyudi membeberkan Presiden
Joko Widodo juga sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat. Hal itu berdasarkan laporan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
"Artinya proses hukum tetap harus dilanjutkan," kata dia.
Mekanisme Hukum Tersedia
Menurut dia, Kejagung bisa mengambil berbagai keputusan dalam mengusut kasus pelanggaran HAM. Misalnya, tidak memproses lebih lanjut hingga ke pengadilan jika memang buktinya tidak lengkap atau saksi dan korban yang dipanggil sudah meninggal dunia.
"Itu kan tinggal melakukan jalur hukum seperti SP3, itu kan terbuka kemungkinan, tetapi yang pasti tidak menggantung hasil penyelidikan Komnas HAM," ujar dia.
Saat ini, dia menilai Kejagung menggantung penyelidikan Komnas HAM. Padahal, mekanisme penegakan hukum tersedia, mekanisme akuntabilitas hukum tersedia.
"Kalau itu tidak dilakukan padahal di satu sisi negara mengakui adanya pelanggaran HAM berat dan mengakui adanya korbannya, kemudian pengadilan itu tidak dibuka, tidak dilanjutkan, itu justru malah istilahnya
unwilling ya, tidak ada niat dari negara untuk kemudian menjalankan proses tersebut, padahal mekanismenya tersedia," beber dia.
Tagih Kerja Kejagung
Sementara itu, Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Ahmad Sajali, mengatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Presiden bisa tegas dalam menagih tugas dan menagih kerja keras Kejagung dalam mengusut kasus pelanggaran HAM berat. Sebab, Kejagug yang punya kewenangan untuk menyidik dan menuntut para pelaku pelanggaran HAM berat setelah menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM sebagai penyelidik.
"Kalau dari sisi hukum tata negara kan meskipun Komnas HAM bisa dikatakan sebagai lembaga independen, tetapi Komnas HAM beserta Kejaksaan Agung ada dalam satu ranah kekuasaan eksekutif yang harusnya bisa dikoordinasikan dengan sangat mudah dan sangat intens oleh Kemenko Polhukam jikalau negara ada niat untuk menyelesaikan," ujar dia.
Menurut dia, Menko Polhukam bisa mendapatkan informasi yang jelas kalau kejaksaan merasa ada kekurangan dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Tapi proses itu tidak pernah terlihat dan tidak pernah ada informasi kejelasannya.
"Kalau itu tidak terlaksana, terlihat tidak ada kemauan dari negara untuk bisa menyelesaikannya. Padahal dorongan publik untuk bisa menyelesaikan beban negara, sejarah kelam bangsa Indonesia dalam hari-hari kemerdekaannya, dalam masa orde baru, tidak bisa kunjung selesai hingga 25 tahun pasca kita reformasi," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id(AZF)