Jakarta: Mantan Aktivis Ratna Sarumpaet didakwa menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran terkait penganiayaan alih-alih operasi plastik. Ahli pidana Metty Rahmawati Argo menyebut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Ratna tepat.
”Kalau dilihat isi norma, itu memberitahukan kebohongan dengan sengaja dan membuat keonaran. Dalam konteks tersebut kalau orang menyiarkan kabar dan membuat keonaran, delik materiilnya bisa dijatuhi pidana,” kata Metty di Pegadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 25 April 2019.
Dia menyebut pasal yang menjerat Ratna muncul pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Menurutnya, pasal ini terbit untuk mencegah keonaran.
“Kalau sejarahnya Presiden Soekarno membuat itu agar tidak ada demo karena saat itu masih baru merdeka,” ujar Metty.
Baca juga: Ratna Sarumpaet Sebut Ahli dari Jaksa Ngawur
Lebih lanjut, Metty menilai keonaran yang dimaksud adalah munculnya situasi yang tidak kondusif. Situasi yang membuat kehidupan tidak tenang.
“Timbulnya suatu kerusuhan atau keadaan yang membuat kondisi tidak tenang. Ini karena pro dan kontra. Ada dua kelompok atau golongan tidak menemukan titik temu dan menjalar akhirnya tidak kondusif,” ungkapnya.
Kasus hoaks Ratna bermula dari foto lebam wajahnya yang beredar di media sosial. Sejumlah tokoh mengatakan Ratna dipukuli orang tak di kenal di Bandung, Jawa Barat. Ratna kemudian mengakui kabar itu tak benar. Mukanya lebam karena menjalani operasi plastik.
Ratna ditahan setelah ditangkap di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 4 Oktober 2018 malam. Saat itu, Ratna hendak terbang ke Chile.
Akibat perbuatannya, Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Jakarta: Mantan Aktivis Ratna Sarumpaet didakwa menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran terkait penganiayaan alih-alih operasi plastik. Ahli pidana Metty Rahmawati Argo menyebut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Ratna tepat.
”Kalau dilihat isi norma, itu memberitahukan kebohongan dengan sengaja dan membuat keonaran. Dalam konteks tersebut kalau orang menyiarkan kabar dan membuat keonaran, delik materiilnya bisa dijatuhi pidana,” kata Metty di Pegadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 25 April 2019.
Dia menyebut pasal yang menjerat Ratna muncul pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Menurutnya, pasal ini terbit untuk mencegah keonaran.
“Kalau sejarahnya Presiden Soekarno membuat itu agar tidak ada demo karena saat itu masih baru merdeka,” ujar Metty.
Baca juga:
Ratna Sarumpaet Sebut Ahli dari Jaksa Ngawur
Lebih lanjut, Metty menilai keonaran yang dimaksud adalah munculnya situasi yang tidak kondusif. Situasi yang membuat kehidupan tidak tenang.
“Timbulnya suatu kerusuhan atau keadaan yang membuat kondisi tidak tenang. Ini karena pro dan kontra. Ada dua kelompok atau golongan tidak menemukan titik temu dan menjalar akhirnya tidak kondusif,” ungkapnya.
Kasus hoaks Ratna bermula dari foto lebam wajahnya yang beredar di media sosial. Sejumlah tokoh mengatakan Ratna dipukuli orang tak di kenal di Bandung, Jawa Barat. Ratna kemudian mengakui kabar itu tak benar. Mukanya lebam karena menjalani operasi plastik.
Ratna ditahan setelah ditangkap di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 4 Oktober 2018 malam. Saat itu, Ratna hendak terbang ke Chile.
Akibat perbuatannya, Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)