Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis yang dijatuhkan kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tak sepadan. Edhy disebut pantas divonis lebih dari lima tahun penjara.
"Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 Juli 2021.
Selain itu, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dinilai masih ringan. Pencabutan hak politik Edhy mestinya dikenakan selama lima tahun.
Kurnia mengatakan pemberatan hukuman itu sesuai dengan kejahatan Edhy. Pasalnya, hakim membenarkan perbuatan Edhy yang telah menerima suap Rp24,6 miliar dan US$77 ribu.
Menurut Kurnia, vonis lima tahun bui sah-sah saja bila Edhy menerima suap puluhan juta. Kemudian, menyandang status sebagai justice collaborator.
"Ini berbeda, yang ia korup mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya," ujar Kurnia.
Ganjaran hukuman lima tahun penjara itu, kata Kurnia, menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi. Majelis hakim mestinya juga mempertimbangkan perbuatan rasuah Edhy di masa pandemi covid-19.
(Baca: KPK Belum Putuskan Banding Vonis Edhy Prabowo)
"Betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan," ucap Kurnia.
Edhy divonis selama lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap total Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Politikus Gerindra itu menerima uang US$77 ribu atau sekitar Rp1,12 miliar melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Seluruh pemberian fulus tersebut untuk mempercepat persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada perusahaan-perusahaan pengekspor. Uang diberikan bertahap Februari hingga November 2020.
Perbuatan Edhy melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain hukuman pokok, Edhy juga dikenakan membayar uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan US$77 ribu (sekitar Rp1,12 miliar). Hak dipilih dalam jabatan publik juga dicabut selama tiga tahun.
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis yang dijatuhkan kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo tak sepadan. Edhy disebut pantas divonis lebih dari lima tahun penjara.
"Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 Juli 2021.
Selain itu, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dinilai masih ringan. Pencabutan hak politik Edhy mestinya dikenakan selama lima tahun.
Kurnia mengatakan pemberatan hukuman itu sesuai dengan kejahatan Edhy. Pasalnya, hakim membenarkan perbuatan Edhy yang telah menerima suap Rp24,6 miliar dan US$77 ribu.
Menurut Kurnia, vonis lima tahun bui sah-sah saja bila Edhy menerima suap puluhan juta. Kemudian, menyandang status sebagai
justice collaborator.
"Ini berbeda, yang ia
korup mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya," ujar Kurnia.
Ganjaran hukuman lima tahun penjara itu, kata Kurnia, menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi. Majelis hakim mestinya juga mempertimbangkan perbuatan rasuah Edhy di masa pandemi covid-19.
(Baca:
KPK Belum Putuskan Banding Vonis Edhy Prabowo)
"Betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan," ucap Kurnia.
Edhy divonis selama lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap total Rp25,7 miliar atas pengadaan
ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Politikus Gerindra itu menerima uang US$77 ribu atau sekitar Rp1,12 miliar melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Seluruh pemberian fulus tersebut untuk mempercepat persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada perusahaan-perusahaan pengekspor. Uang diberikan bertahap Februari hingga November 2020.
Perbuatan Edhy melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain hukuman pokok, Edhy juga dikenakan membayar uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan US$77 ribu (sekitar Rp1,12 miliar). Hak dipilih dalam jabatan publik juga dicabut selama tiga tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)