Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menangani kasus rasuah yang menyeret kepala daerah. Hal itu dinilai terjadi lantaran masih adanya biaya politik yang tinggi.
"Korupsi politik saya rasa tidak bisa dilepaskan dari biaya politik yang dikeluarkan saat pilkada. Misalnya, adanya uang mahar saat pencalonan," kata Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustiyati (Ninis) saat dihubungi Medcom.id, Sabtu, 29 Oktober 2022.
Selain itu, bakal calon kepala daerah juga mesti merogoh kocek cukup dalam untuk kampanye. Situasi itu dinilai membuat kepala daerah terpilih ingin mengembalikan modal dengan cara-cara kotor.
"Ketika terpilih ada keinginan agar modal yang sempat dikeluarkan bisa kembali lagi, dan salah satu cara yang digunakan adalah korupsi," ucap Ninis.
Menurut Ninis, peran partai politik (parpol) diperlukan untuk mencegah tumbuhnya bibit-bibit koruptor. Calon kepala daerah yang dijagokan mestinya tak mengandalkan dari sisi finansial.
"Peran dari parpol juga untuk menghadirkan calon-calon yang berintegritas, tidak sekedar mencalonkan kandidat karena punya modal finansial yang banyak atau populer saja. Tapi juga yang punya semangat antikorupsi," ujar Ninis.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengakui upaya membuat jera koruptor belum tercapai. Pasalnya, Lembaga Antikorupsi kerap menangani perkara di lokasi rasuah itu pernah terjadi.
Selain itu, ketika kepala daerah berganti, KPK juga menemukan kasus korupsi yang terulang. Menurut Ghufron, korupsi sejatinya masih terjadi meski sudah terjadi pergantian pimpinan. Namun, polanya berbeda.
"Kami menilai bahwa takut dan jera itu tampaknya tidak tercapai. Kenapa KPK bisa katakan begitu? Karena tidak jarang yang ditangkap kepala daerah, digantikan wakilnya, wakilnya kena juga,' kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam diskusi bertajuk 'Road to ACS 2022: Mengawal Integritas Pemilu 2024' di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Oktober 2022.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) berulang kali menangani kasus
rasuah yang menyeret kepala daerah. Hal itu dinilai terjadi lantaran masih adanya biaya politik yang tinggi.
"Korupsi politik saya rasa tidak bisa dilepaskan dari biaya politik yang dikeluarkan saat pilkada. Misalnya, adanya uang mahar saat pencalonan," kata Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustiyati (Ninis) saat dihubungi Medcom.id, Sabtu, 29 Oktober 2022.
Selain itu, bakal calon kepala daerah juga mesti merogoh kocek cukup dalam untuk
kampanye. Situasi itu dinilai membuat kepala daerah terpilih ingin mengembalikan modal dengan cara-cara kotor.
"Ketika terpilih ada keinginan agar modal yang sempat dikeluarkan bisa kembali lagi, dan salah satu cara yang digunakan adalah korupsi," ucap Ninis.
Menurut Ninis, peran partai politik (parpol) diperlukan untuk mencegah tumbuhnya bibit-bibit koruptor. Calon kepala daerah yang dijagokan mestinya tak mengandalkan dari sisi finansial.
"Peran dari parpol juga untuk menghadirkan calon-calon yang berintegritas, tidak sekedar mencalonkan kandidat karena punya modal finansial yang banyak atau populer saja. Tapi juga yang punya semangat antikorupsi," ujar Ninis.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengakui upaya membuat jera koruptor belum tercapai. Pasalnya, Lembaga Antikorupsi kerap menangani perkara di lokasi rasuah itu pernah terjadi.
Selain itu, ketika kepala daerah berganti, KPK juga menemukan kasus korupsi yang terulang. Menurut Ghufron, korupsi sejatinya masih terjadi meski sudah terjadi pergantian pimpinan. Namun, polanya berbeda.
"Kami menilai bahwa takut dan jera itu tampaknya tidak tercapai. Kenapa KPK bisa katakan begitu? Karena tidak jarang yang ditangkap kepala daerah, digantikan wakilnya, wakilnya kena juga,' kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam diskusi bertajuk 'Road to ACS 2022: Mengawal Integritas Pemilu 2024' di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Oktober 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)