Jakarta: Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dinilai tak akan pernah selesai. Kasus HAM hanya ditutup dengan hukuman yang terkesan simbolis, seperti pemberian sanksi ringan.
"Maksudnya kira-kira ketika terjadi pelanggaran HAM, tidak terjadi penyelesaian terhadap pelanggaran HAM tersebut," kata Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar dalam diskusi daring bertema Ada Apa dengan Kebebasan Berbicara, Selasa, 9 Juni 2020.
Menurut dia, ada dua tipe penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Penegak hukum akan menyebut adanya perubahan rezim dengan alibi memiliki orientasi terhadap hukum dan HAM, serta menggunakan pendekatan kultural.
"Istilah kultural itu yang sebetulnya 'jangan berisik nanti saya geser orangnya'. Di Indonesia antropologi politiknya begitu, kalau mau 'nyikat' orang karena tidak ada akuntabilitas dan transparansi," ungkap Haris.
Baca: Pengusutan Kasus Semanggi Tak Ada Batas Waktu
Haris mengatakan pelanggaran HAM terjadi ketika hak setiap orang yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM diabaikan. Seluruh pihak diminta memahami konteks pelanggaran HAM tersebut.
"Ada orang yang tidak dibolehkan hak-haknya, itu berpotensi secara nyata melanggar HAM," kata Haris.
Dia mencontohkan aksi unjuk rasa sejumlah mahasiswa dan pelajar pada 23-25 September 2019. Demonstrasi dibalas tindakan brutal aparat keamanan.
"Itu dalam Pasal 1 angka 6 (UU HAM) yang disebut dengan pelanggaran hak," ujar pegiat HAM itu.
Haris juga menyoroti kasus Ravio Patra, peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi. Menurut Haris, Ravio merupakan korban peretasan atas akun WhatsApp pribadinya.
"Justru dia diperiksa sebagai pesakitan yang berpotensi sebagai pelaku pidananya," ujar Haris.
Ravio sempat ditangkap polisi, Rabu malam, 22 April 2020. Selang dua hari kemudian, Ravio dibebaskan.
Ravio melaporkan kasus peretasan kepada polisi pada Selasa, 28 April 2020. Namun, belum ada titik terang atas kasus tersebut.
Haris tidak heran dengan lambatnya kerja kepolisian mengusut kasus Ravio. "Jadi, memang karakternya di Indonesia kalau terkait pelanggaran HAM tidak ada penyelesaian," kata Haris.
Jakarta: Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dinilai tak akan pernah selesai. Kasus HAM hanya ditutup dengan hukuman yang terkesan simbolis, seperti pemberian sanksi ringan.
"Maksudnya kira-kira ketika terjadi pelanggaran HAM, tidak terjadi penyelesaian terhadap pelanggaran HAM tersebut," kata Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar dalam diskusi daring bertema
Ada Apa dengan Kebebasan Berbicara, Selasa, 9 Juni 2020.
Menurut dia, ada dua tipe penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Penegak hukum akan menyebut adanya perubahan rezim dengan alibi memiliki orientasi terhadap hukum dan HAM, serta menggunakan pendekatan kultural.
"Istilah kultural itu yang sebetulnya 'jangan berisik nanti saya geser orangnya'. Di Indonesia antropologi politiknya begitu, kalau mau 'nyikat' orang karena tidak ada akuntabilitas dan transparansi," ungkap Haris.
Baca: Pengusutan Kasus Semanggi Tak Ada Batas Waktu
Haris mengatakan pelanggaran HAM terjadi ketika hak setiap orang yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM diabaikan. Seluruh pihak diminta memahami konteks pelanggaran HAM tersebut.
"Ada orang yang tidak dibolehkan hak-haknya, itu berpotensi secara nyata melanggar HAM," kata Haris.
Dia mencontohkan aksi unjuk rasa sejumlah mahasiswa dan pelajar pada 23-25 September 2019. Demonstrasi dibalas tindakan brutal aparat keamanan.
"Itu dalam Pasal 1 angka 6 (UU HAM) yang disebut dengan pelanggaran hak," ujar pegiat HAM itu.
Haris juga menyoroti kasus Ravio Patra, peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi. Menurut Haris, Ravio merupakan korban peretasan atas akun
WhatsApp pribadinya.
"Justru dia diperiksa sebagai pesakitan yang berpotensi sebagai pelaku pidananya," ujar Haris.
Ravio sempat ditangkap polisi, Rabu malam, 22 April 2020. Selang dua hari kemudian, Ravio dibebaskan.
Ravio melaporkan kasus peretasan kepada polisi pada Selasa, 28 April 2020. Namun, belum ada titik terang atas kasus tersebut.
Haris tidak heran dengan lambatnya kerja kepolisian mengusut kasus Ravio. "Jadi, memang karakternya di Indonesia kalau terkait pelanggaran HAM tidak ada penyelesaian," kata Haris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)