medcom.id, Jakarta: Pengawasan di lembaga permasyarakat diakui masih minim. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertugas mengawasi warga binaan menjadi masalah klasik yang masih dicari jalan keluarnya.
"Pelayanan belum maksimal karena terbatasnya SDM, jadi ini memang faktor klasik dan terulang, tapi fakta," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas), Ma'mun di Gedung Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin 21 Agustus 2017.
Ma'mun mengatakan, kurangnya SDM berbanding lurus dengan banyaknya lapas yang kelebihan kapasitas. Hal ini menurunkan pelayanan dan pengawasan, serta meningkatkan potensi gangguan keamanan dan ketertiban.
Baca: Komisi III Cerita Rumitnya Masalah Lapas di Indonesia
Di Banjarmasin misalnya, satu lapas memiliki daya tampung 336 penghuni, tetapi kini diisi lebih dari 2.700 warga binaan. Begitupula dengan lapas di Pekanbaru yang memuat kapasitas hingga 400 persen lebih banyak dari daya tampungnya.
"Saya tahu kondisi ini karena saya pernah jadi kepala lapas di Banjarmasin, di sana kelebihan kapasitas tujuh kali lipat. Kurangnya SDM dengan sendirinya berbanding lurus dengan menurunnya pengawasan pelayanan," ujar Ma'mun.
Ma'mun mengungkapkan, di beberapa daerah bahkan satu lapas hanya dijaga oleh tiga petugas. Hal ini sangat menyulitkan bila salah satu petugas sakit, cuti, atau ada acara penting. Keterbatasan SDM menjadi masalah yang di luar kendali Dirjen Pas.
Baca: Masalah Klasik Lapas
"Kami mengakui kekurangan kami, semua itu jadi catatan. Tapi ada hal di luar kemampuan kami seperti SDM dan anggaran. Kami tetap berupaya dengan kondisi dan keterbatasan yang ada supaya hasilnya maksimal," jelas Ma'mun.
Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, keterbatasan SDM menyebabkan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk pengajuan pengurangan hukuman membutuhkan waktu lama dan dilakukan sekaligus dalam satu aula.
"Di Lapas Kelas IA Banjarmasin dan Lapas Kelas IIA Martapura, sidang TPP hanya dua kali sebulan karena kurang petugas. Akibatnya proses pengurusan hak pengurangan hukuman terhambat," kata Ninik.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/nbw1eaEK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Pengawasan di lembaga permasyarakat diakui masih minim. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertugas mengawasi warga binaan menjadi masalah klasik yang masih dicari jalan keluarnya.
"Pelayanan belum maksimal karena terbatasnya SDM, jadi ini memang faktor klasik dan terulang, tapi fakta," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas), Ma'mun di Gedung Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin 21 Agustus 2017.
Ma'mun mengatakan, kurangnya SDM berbanding lurus dengan banyaknya lapas yang kelebihan kapasitas. Hal ini menurunkan pelayanan dan pengawasan, serta meningkatkan potensi gangguan keamanan dan ketertiban.
Baca:
Komisi III Cerita Rumitnya Masalah Lapas di Indonesia
Di Banjarmasin misalnya, satu lapas memiliki daya tampung 336 penghuni, tetapi kini diisi lebih dari 2.700 warga binaan. Begitupula dengan lapas di Pekanbaru yang memuat kapasitas hingga 400 persen lebih banyak dari daya tampungnya.
"Saya tahu kondisi ini karena saya pernah jadi kepala lapas di Banjarmasin, di sana kelebihan kapasitas tujuh kali lipat. Kurangnya SDM dengan sendirinya berbanding lurus dengan menurunnya pengawasan pelayanan," ujar Ma'mun.
Ma'mun mengungkapkan, di beberapa daerah bahkan satu lapas hanya dijaga oleh tiga petugas. Hal ini sangat menyulitkan bila salah satu petugas sakit, cuti, atau ada acara penting. Keterbatasan SDM menjadi masalah yang di luar kendali Dirjen Pas.
Baca:
Masalah Klasik Lapas
"Kami mengakui kekurangan kami, semua itu jadi catatan. Tapi ada hal di luar kemampuan kami seperti SDM dan anggaran. Kami tetap berupaya dengan kondisi dan keterbatasan yang ada supaya hasilnya maksimal," jelas Ma'mun.
Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, keterbatasan SDM menyebabkan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk pengajuan pengurangan hukuman membutuhkan waktu lama dan dilakukan sekaligus dalam satu aula.
"Di Lapas Kelas IA Banjarmasin dan Lapas Kelas IIA Martapura, sidang TPP hanya dua kali sebulan karena kurang petugas. Akibatnya proses pengurusan hak pengurangan hukuman terhambat," kata Ninik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)