Jakarta: Sejumlah pihak mendorong pemerkosa 21 santriwati di Bandung, Jawa Barat, Herry Wirawan, dihukum kebiri. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menilai kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan penanganan therapeutic.
"Jadi, bukan menyakitkan, kebiri justru pengobatan, kalau masyarakat mau predator dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak," ujar Reza dalam keterangan tertulis, Minggu, 12 Desember 2021.
Dia menuturkan kebiri therapeutic berhasil menekan risiko residivisme. Namun, mesti dilakukan berdasarkan permintaan pelaku.
"Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator. Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," ujar dia.
Reza menceritakan pengalaman bertemu dengan predator dari Sukabumi, Emon, sebelum dia dijebloskan ke penjara. Reza mempertanyakan Kementerian Hukum dan Ham terkait proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon.
"Mari kita tanya Kemenkumham, bagaimana proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon? Kementerian ini luput dari tagihan masyarakat," ujar dia.
Reza menuturkan pada kasus Herry tidak hanya dilihat dari sisi pelaku-korban saja. Ada dua pertanyaan yang belum terjawab.
"Pertama, mengapa dia tidak meminta para santri mengaborsi janin mereka? Padahal, lazimnya, kriminal berusaha menghilangkan barang bukti. Kedua, apakah selama bertahun-tahun para santri tidak mengadu ke orang tua mereka?" tanya Reza.
Dia menuturkan meski dari sisi hukum peristiwa ini sebagai kejahatan seksual, namun dari sisi psikologi dan sosiologi ada tanda tanya. Dia mempertanyakan tata nilai dan pola relasi yang sesungguhnya terbangun antara pelaku, korban, dan keluarga mereka. (Mohamad Farhan Zhuhri)
Baca: Legislator Yakin Hukuman Kebiri pada Predaktor Seksual Beri Efek Jera
Jakarta: Sejumlah pihak mendorong
pemerkosa 21 santriwati di Bandung, Jawa Barat, Herry Wirawan,
dihukum kebiri. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menilai kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan penanganan
therapeutic.
"Jadi, bukan menyakitkan, kebiri justru pengobatan, kalau masyarakat mau predator dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya
hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak," ujar Reza dalam keterangan tertulis, Minggu, 12 Desember 2021.
Dia menuturkan kebiri
therapeutic berhasil menekan risiko residivisme. Namun, mesti dilakukan berdasarkan permintaan pelaku.
"Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator. Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator
mysoped. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," ujar dia.
Reza menceritakan pengalaman bertemu dengan predator dari Sukabumi, Emon, sebelum dia dijebloskan ke penjara. Reza mempertanyakan Kementerian Hukum dan Ham terkait proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon.
"Mari kita tanya Kemenkumham, bagaimana proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon? Kementerian ini luput dari tagihan masyarakat," ujar dia.
Reza menuturkan pada kasus Herry tidak hanya dilihat dari sisi pelaku-korban saja. Ada dua pertanyaan yang belum terjawab.
"Pertama, mengapa dia tidak meminta para santri mengaborsi janin mereka? Padahal, lazimnya, kriminal berusaha menghilangkan barang bukti. Kedua, apakah selama bertahun-tahun para santri tidak mengadu ke orang tua mereka?" tanya Reza.
Dia menuturkan meski dari sisi hukum peristiwa ini sebagai kejahatan seksual, namun dari sisi psikologi dan sosiologi ada tanda tanya. Dia mempertanyakan tata nilai dan pola relasi yang sesungguhnya terbangun antara pelaku, korban, dan keluarga mereka. (
Mohamad Farhan Zhuhri)
Baca:
Legislator Yakin Hukuman Kebiri pada Predaktor Seksual Beri Efek Jera
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)