Jakarta: Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kasus suap di Badan SAR Nasional (Basarnas) berbuntut panjang. Timbul dorongan agar pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menilai UU Peradilan Militer dijadikan sarana impunitas bagi personel TNI ketika melakukan tindak pidana. Menurut dia, revisi beleid harus dilakukan guna memastikan proses hukum tindak pidana yang dilakukan angkatan bersenjata diadili lewat peradilan umum.
"UU Peradilan Militer hanya digunakan terhadap pelanggaran disiplin dan pengusutan tindak pidana militer, bukan pidana umum," kata Gufron kepada Media Indonesia, Sabtu, 29 Juli 2023.
Dia berpandangan aturan sekarang membuat militer seperti punya rezim hukum sendiri. Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip semua pihak berkedudukan sama di mata hukum.
"Ini, kan, bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum," ungkap dia.
Selain itu, Gufron meminta KPK tidak takut dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan dua personel aktif TNI, yaitu Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto. KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dalam mengadili keduanya.
"Dengan dasar lex specialist derogant lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum," ujar Gufron.
Seruan revisi UU Peradilan Militer juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. UU Peradilan Militer dinilai sebagai sarana impunitas dan alasan untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
Beberapa anggota Koalisi antara lain Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Kontras, ICW, LBH Masyarakat, Setara Institute, dan AJI Jakarta.
"Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Nawacita periode pertama kekuasaannya," kata Koalisi dalam keterangannya.
Jakarta:
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) terhadap kasus suap di Badan SAR Nasional (Basarnas) berbuntut panjang. Timbul dorongan agar pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menilai UU Peradilan Militer dijadikan sarana impunitas bagi personel
TNI ketika melakukan tindak pidana. Menurut dia, revisi beleid harus dilakukan guna memastikan proses hukum tindak pidana yang dilakukan angkatan bersenjata diadili lewat peradilan umum.
"UU Peradilan Militer hanya digunakan terhadap pelanggaran disiplin dan pengusutan tindak pidana militer, bukan pidana umum," kata Gufron kepada
Media Indonesia, Sabtu, 29 Juli 2023.
Dia berpandangan aturan sekarang membuat militer seperti punya rezim hukum sendiri. Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip semua pihak berkedudukan sama di mata hukum.
"Ini, kan, bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum," ungkap dia.
Selain itu, Gufron meminta KPK tidak takut dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan dua personel aktif TNI, yaitu Kepala
Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto. KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dalam mengadili keduanya.
"Dengan dasar
lex specialist derogant lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum," ujar Gufron.
Seruan revisi UU Peradilan Militer juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. UU Peradilan Militer dinilai sebagai sarana impunitas dan alasan untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
Beberapa anggota Koalisi antara lain Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Kontras, ICW, LBH Masyarakat, Setara Institute, dan AJI Jakarta.
"Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Nawacita periode pertama kekuasaannya," kata Koalisi dalam keterangannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)