Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyidik kasus dugaan suap yang menyeret mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Penyidik mengorek penggunaan uang Edhy melalui asisten pribadinya, Amiril Mukminin.
"Didalami mengenai penggunaan uang-uang yang diduga diterima dari pihak-pihak yang mengajukan izin ekspor benih lobster," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis, 4 Februari 2021.
Amiril merupakan orang kepercayaan Edhy yang mengatur seluruh uang politikus Gerindra itu. Sebelumnya, Edhy mengaku seluruh barang belanjaannya dibayar oleh Amiril. Edhy mengeklaim tak tahu menahu soal uang masuk di rekeningnya.
Lembaga Antikorupsi belum mau memberikan informasi lebih lanjut terkait seluk beluk uang yang masuk ke rekening Edhy. Alasannya, untuk menjaga kerahasian proses penyidikan.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, staf istri Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
(Baca: KPK Selisik Penemuan Uang di Rumah Dinas Edhy)
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100 ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) terus menyidik kasus dugaan suap yang menyeret mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo. Penyidik mengorek penggunaan uang Edhy melalui asisten pribadinya, Amiril Mukminin.
"Didalami mengenai penggunaan uang-uang yang diduga diterima dari pihak-pihak yang mengajukan izin ekspor benih lobster," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis, 4 Februari 2021.
Amiril merupakan orang kepercayaan Edhy yang mengatur seluruh uang politikus Gerindra itu. Sebelumnya, Edhy mengaku seluruh barang belanjaannya dibayar oleh Amiril. Edhy mengeklaim tak tahu menahu soal uang masuk di rekeningnya.
Lembaga Antikorupsi belum mau memberikan informasi lebih lanjut terkait seluk beluk uang yang masuk ke rekening Edhy. Alasannya, untuk menjaga kerahasian proses penyidikan.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, staf istri Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
(Baca:
KPK Selisik Penemuan Uang di Rumah Dinas Edhy)
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100 ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)