Jakarta: Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen (Purn) Suhardi Alius memaparkan lima bentuk ancaman teror yang berpotensi terjadi saat pandemi covid-19. Mulai dari teror dengan menunggang isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hingga memanfaatkan kekacauan di tengah masyarakat.
“Pertama, ada sentimen yang dibangun terhadap isu SARA,” kata Suhardi dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Februari 2021.
Suhardi mencontohkan ada anggapan yang keliru di tengah masyarakat. Yakni, covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok, dikaitkan dengan tindakan pemerintah setempat terhadap Muslim Uighur di sana.
“Keberadaan asumsi ini tidak mengesampingkan kemungkinan meningkatkan ancaman teror bernuansa SARA di Indonesia,” papar dia.
Bentuk kedua yakni penggalangan dana terorisme dengan kedok bantuan kemanusiaan saat pandemi. Suhardi mengimbau lembaga yang fokus pada pencegahan kejahatan keuangan mewaspadai motif tersebut.
Baca: Media Harus Proporsional Memberitakan Isu Terorisme
“Ini banyak terjadi bantuan kemanusiaan sebagian disisihkan untuk kegiatan tersebut (terorisme),” terang dia.
Suhardi menyebut bentuk berikutnya adalah pemberontakan di penjara. Dia mencontohkan upaya membobol penjara oleh tahanan kelompok Islamic State (ISIS) pada 29 Maret 2020.
“Bentuk keempat ialah lone wolf atau leaderless jihad. Ini memungkinkan mereka melakukan aksinya sendirian,” tutur mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri itu.
Suhardi menuturkan bentuk terakhir yakni serangan teror dalam situasi kacau. Misalnya saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang rentan muncul situasi kacau di tengah masyarakat.
“Ini bisa dimanfaatkan kelompok terorisme dengan bermain peran untuk memperkeruh suasana,” kata dia.
Jakarta: Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen (Purn) Suhardi Alius memaparkan lima bentuk ancaman teror yang berpotensi terjadi saat
pandemi covid-19. Mulai dari teror dengan menunggang isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hingga memanfaatkan kekacauan di tengah masyarakat.
“Pertama, ada sentimen yang dibangun terhadap isu SARA,” kata Suhardi dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Februari 2021.
Suhardi mencontohkan ada anggapan yang keliru di tengah masyarakat. Yakni,
covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok, dikaitkan dengan tindakan pemerintah setempat terhadap Muslim Uighur di sana.
“Keberadaan asumsi ini tidak mengesampingkan kemungkinan meningkatkan ancaman teror bernuansa SARA di Indonesia,” papar dia.
Bentuk kedua yakni penggalangan dana
terorisme dengan kedok bantuan kemanusiaan saat pandemi. Suhardi mengimbau lembaga yang fokus pada pencegahan kejahatan keuangan mewaspadai motif tersebut.
Baca: Media Harus Proporsional Memberitakan Isu Terorisme
“Ini banyak terjadi bantuan kemanusiaan sebagian disisihkan untuk kegiatan tersebut (terorisme),” terang dia.
Suhardi menyebut bentuk berikutnya adalah pemberontakan di penjara. Dia mencontohkan upaya membobol penjara oleh tahanan kelompok Islamic State (ISIS) pada 29 Maret 2020.
“Bentuk keempat ialah
lone wolf atau
leaderless jihad. Ini memungkinkan mereka melakukan aksinya sendirian,” tutur mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri itu.
Suhardi menuturkan bentuk terakhir yakni serangan teror dalam situasi kacau. Misalnya saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang rentan muncul situasi kacau di tengah masyarakat.
“Ini bisa dimanfaatkan kelompok terorisme dengan bermain peran untuk memperkeruh suasana,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)