Jakarta: Hadi Setiawan, tersangka suap hakim ad hoc Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia bakal meringkuk di rumah tahanan (rutan) selama 20 hari pertama.
"Tersangka HS (Hadi Setiawan) ditahan 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK," ungkap juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 4 September 2018.
Hadi diketahui sempat 'lolos' dari operasi tangkap tangan KPK pekan lalu. Namun, ia akhirnya menghentikan pelariannya dan memutuskan untuk menyerahkan diri ke KPK siang tadi.
Dengan diantar istri dan keluarganya, Hadi menyerahkan diri ke penyidik KPK di Hotel Sun City, Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah itu, Hadi langsung dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Hadi adalah tangan kanan Direktur Utama PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi, yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Keduanya diduga menyuap hakim ad hoc Merry Purba dan panitera pengganti Helpandi.
Keduanya menyuap Merry sebesar SG$280 ribu atau setara Rp3 miliar. Duit suap ini diduga untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara korupsi lahan.
Tamin diketahui menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar. Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan dissenting opinion.
Baca: Tersangka Suap PN Medan Serahkan Diri ke KPK
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis pidana enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
Atas perbuatannya, hakim Merry dan Helpandi selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Tamin dan Hadi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 (1) a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Hadi Setiawan, tersangka suap hakim ad hoc Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia bakal meringkuk di rumah tahanan (rutan) selama 20 hari pertama.
"Tersangka HS (Hadi Setiawan) ditahan 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK," ungkap juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 4 September 2018.
Hadi diketahui sempat 'lolos' dari operasi tangkap tangan KPK pekan lalu. Namun, ia akhirnya menghentikan pelariannya dan memutuskan untuk menyerahkan diri ke KPK siang tadi.
Dengan diantar istri dan keluarganya, Hadi menyerahkan diri ke penyidik KPK di Hotel Sun City, Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah itu, Hadi langsung dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Hadi adalah tangan kanan Direktur Utama PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi, yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Keduanya diduga menyuap hakim ad hoc Merry Purba dan panitera pengganti Helpandi.
Keduanya menyuap Merry sebesar SG$280 ribu atau setara Rp3 miliar. Duit suap ini diduga untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara korupsi lahan.
Tamin diketahui menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar. Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan
dissenting opinion.
Baca: Tersangka Suap PN Medan Serahkan Diri ke KPK
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis pidana enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
Atas perbuatannya, hakim Merry dan Helpandi selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Tamin dan Hadi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 (1) a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)