Ilustrasi: Medcom.id
Ilustrasi: Medcom.id

RUU Ciptaker Memuat Ketentuan yang Sudah Dibatalkan MK

Achmad Zulfikar Fazli • 24 Februari 2020 22:20
Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai memiliki bermasalah. Ada 30 dari 80 UU yang terintegrasi ke Omnibus Law sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
 
"Berbagai ketentuan undang-undang yang telah dibatalkan MK, ternyata masih dimuat kembali dalam pengaturan RUU Cipta Kerja," kata Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin di Jakarta, Senin, 24 Februari 2020.
 
Firmansyah menyebut ada delapan putusan MK yang telah menganulir dan dinyatakan inkonstitusional ketentuan sebuah undang-undang, namun diatur kembali dalam RUU Cipta Kerja.

Antara lain putusan No 10/PUU-X/2012 yang mengubah dan menyatakan, Pasal 6 ayat (1) huruf e UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara menjadi penetapan wilayah pertambangan (WP) yang dilakukan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR. Namun, Pasal 41 RUU Ciptaker mengatur Pasal 6 huruf f UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, meliputi penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
 
RUU Ciptaker Memuat Ketentuan yang Sudah Dibatalkan MK
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. ANT/Hafidz Mubarak A
 
Lalu, putusan 58/PUU-XII/2014: UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan telah meniadakan ancaman pidana penjara lima tahun dalam Pasal 54 ayat (1), ketentuan itu kembali diatur dalam Pasal 43 RUU Ciptaker.
 
"Ini artinya, sejumlah ketentuan RUU Cipta Kerja masih belum sejalan atau bertentangan dengan putusan MK," ucap dia.
 
Dia menilai masalah ini bukan karena ketidaksiapan pemerintah dengan metode omnibus law. Tapi, ada ketidakpatuhan memenuhi putusan-putusan MK.
 
"Mengingat putusan MK telah dijatuhkan jauh sebelum inisiatif RUU Cipta Karya muncul. Pemerintah dan DPR tidak kunjung segera merevisi ketentuan undang-undang yang sudah sekian lama dibatalkan MK seperti UU Minerba dan Ketenagakerjaan. Sebaliknya, ketentuan yang telah dibatalkan tersebut malah dipindah dan dimuat kembali dalam RUU Cipta Kerja," ujar dia.
 
Baca: RUU Ciptaker Dinilai Upaya Mewujudkan Sentralisasi Kekuasaan
 
ILR mencatat ketidakpatuhan terhadap putusan MK sudah beberapa kali terjadi. Dalam penelitian ILR, terdapat 27 % dari 239 putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dalam kurun waktu 2003-2018  tidak ditindaklanjuti atau tidak dipatuhi. 
 
Menurut dia, pemerintah dan DPR akan menciptakan preseden buruk bila membiarkan RUU Ciptaker bertentangan dengan putusan MK. "Ketidaktaatan terhadap putusan MK, sama artinya ketidaktaatan terhadap konsitusi, yang sudah semestinya ditolak dalam system penyelenggaran negara yang berdasar atas negara hukum dan demokrasi," tegas dia.
 
Firmansyah mengatakan kpertentangan RUU Ciptaker dengan putusan MK juga mengonfirmasi kekhawatiran banyak pihak yang menilai omnibus law tersebut tidak demokratis, merugikan kepentingan masyarakat, dan menghambat pemenuhan atas hak-hak konstitusional warga negara.
 
"Oleh karena itu, ILR memandang RUU Cipta Kerja ini harus dikembalikan ke pemerintah, disesuaikan kembali dengan putusan-putusan MK, dan dibahas secara transparan dan partisipatif, dengan atau tidak menggunakan cara omnibus law," kata dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan