Jakarta: Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menyebut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah kepada Aksi Terorisme berpotensi kontraproduktif. Aturan itu dianggap bisa melahirkan kontraksi sosial baru.
"Pada konteks diksi ekstremisme serta makna yang diadopsi dalam perpres berpotensi melahirkan perdebatan karena ambigu karena menyasar wilayah keyakinan, lain soal dengan tindakan kekerasan," kata Abu dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin, 13 Januari 2021.
Menurut dia, tidak ada paradigma dan parameter yang bisa menilai keyakinan. Ia khawatir pemerintah subjektif dalam menilai keyakinan seseorang.
"Apa itu sebagai ekstremisme? Potensi subjektivitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol," ungkap dia.
Baca: Jokowi Terbitkan Perpres Penanggulangan Ekstremisme, Ini Isinya
Selain itu, perpres tersebut bisa memunculkan nomenklatur baru untuk anggaran atau pembiayaan. Abu khawatir unit baru yang muncul hanya akan menambah beban anggaran baru.
"Lagi pula, perpres itu bukan fokus di aksi terorisme, tapi mengarah kepada gejala praaksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme," ujar dia.
Abu menyarankan pemerintah fokus menyelesaikan persoalan hulu sebagai variabel pemicu munculnya aksi terorisme. Kemudian, pemerintah perlu meningkatkan kehidupan ekonomi, kesejahteraan, dan kualitas sumber daya manusia.
"Ciptakan iklim kepercayaan publik kepada pemerintah bahwa keadilan bisa tegak di bumi NKRI. Kalau aspek ini tidak menjadi fokus prioritas justru substansi dan implementasinya perpres ini menjadi kontraproduktif," tegas Abu.
Jakarta: Pengamat
terorisme Harits Abu Ulya menyebut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan
Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah kepada Aksi Terorisme berpotensi kontraproduktif. Aturan itu dianggap bisa melahirkan kontraksi sosial baru.
"Pada konteks diksi ekstremisme serta makna yang diadopsi dalam perpres berpotensi melahirkan perdebatan karena ambigu karena menyasar wilayah keyakinan, lain soal dengan tindakan kekerasan," kata Abu dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin, 13 Januari 2021.
Menurut dia, tidak ada paradigma dan parameter yang bisa menilai keyakinan. Ia khawatir pemerintah subjektif dalam menilai keyakinan seseorang.
"Apa itu sebagai ekstremisme? Potensi subjektivitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol," ungkap dia.
Baca:
Jokowi Terbitkan Perpres Penanggulangan Ekstremisme, Ini Isinya
Selain itu, perpres tersebut bisa memunculkan nomenklatur baru untuk anggaran atau pembiayaan. Abu khawatir unit baru yang muncul hanya akan menambah beban anggaran baru.
"Lagi pula, perpres itu bukan fokus di aksi terorisme, tapi mengarah kepada gejala praaksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme," ujar dia.
Abu menyarankan pemerintah fokus menyelesaikan persoalan hulu sebagai variabel pemicu munculnya aksi terorisme. Kemudian, pemerintah perlu meningkatkan kehidupan ekonomi, kesejahteraan, dan kualitas sumber daya manusia.
"Ciptakan iklim kepercayaan publik kepada pemerintah bahwa keadilan bisa tegak di bumi NKRI. Kalau aspek ini tidak menjadi fokus prioritas justru substansi dan implementasinya perpres ini menjadi kontraproduktif," tegas Abu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)