Jakarta: Proses penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah terus berlanjut. Sebanyak 71 lahan milik perusahaan dan satu lahan milik perseorangan di Kalimantan dan Sumatera telah disegel penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian LHK Jasmin Ragil Utomo menuturkan, berdasarkan data perseroan, lahan yang disegel itu terdiri atas 23 perusahaan modal asing, 45 perusahaan modal dalam negeri, dan tiga perusahaan lainnya masih dalam penelusuran.
Dari 72 lahan yang disegel itu, sembilan kasus sudah naik ke tingkat penyidikan dengan delapan tersangka dari korporasi dan satu tersangka perorangan.
Berkas perkara perorangan dengan tersangka UB di Kalimantan Barat sudah dinyatakan lengkap dan tinggal menunggu persidangan. Delapan tersangka lainnya dari korporasi masih dalam proses pemberkasan karena ada beberapa bukti yang perlu dilengkapi.
"Untuk delapan perusahaan belum P21 (berkas perkara belum lengkap)," ungkap Jasmin di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2019.
Jasmin menegaskan pada lahan yang terbukti berulang kali terbakar, Kementerian LHK tidak hanya menerapkan sanksi administratif seperti penghentian kegiatan hingga pencabutan izin, tetapi juga instrumen pidana lainnya.
Mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang No 32/2009 tentang Lingkungan, Undang-Undang No 39/2014 tentang Perkebunan, dan Undang-Undang No 41/1999 tentang Perhutanan.
"Di dalamnya diatur sanksi penjara maksimal 10 tahun dan denda atas perusakan lingkungan maksimal Rp10 miliar," jelas dia.
Dalam aspek penegakan hukum, terang dia, ada perluasan dalam skala penindakan perlibatan pemerintah daerah dalam pengawasan. Kepala daerah juga dapat memberikan sanksi hukum kepada perusahaan pemegang izin.
Adapun untuk perusahaan pemegang izin usaha perhutanan yang diberikan Kementerian LHK, daerah bisa turut merekomendasikan sanksi.
"Bisa penghentian kegiatan hingga pencabutan izin setelah ada proses pengawasan kemudian terbukti pelanggaran," ucap dia.
Jasmin berharap tidak ada lagi perusahaan yang sengaja membakar lahan untuk membuka perkebunan. Penegakan hukum juga akan dipertegas untuk pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan.
Musim hujan terlambat
Kepala Subdirektorat Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika M Fadli memaparkan wilayah di atas garis ekuator atau khatulistiwa sudah cukup banyak mendapatkan curah hujan. Sebaliknya daerah-daerah di bagian bawah ekuator akan mengalami keterlambatan awal musim hujan, seperti Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, hingga November 2019.
"Ada hujan lokal, tetapi intensitasnya ringan. Potensi kekeringan ini harus diantisipasi. Apabila daerahnya hutan, masih waspada terjadi kebakaran," terang Fadli.
Fadli menjelaskan kemarau yang lebih panjang di sejumlah wilayah juga dipengaruhi rendahnya penguapan di Samudra Hindia. Sehingga ada daerah yang mengalami hari tanpa hujan hingga tiga bulan.
Untuk proyeksi cuaca dan iklim pada 2020, BMKG mengimbau masyarakat mewaspadai potensi bencana yang terjadi. Pasalnya, dari prakiraan, musim kemarau periode 2020-2030 di Indonesia akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode 2006-2016.
"Musim kemarau akan lebih kering sekitar 20% rata-rata nasional," kata dia.
Jakarta: Proses penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah terus berlanjut. Sebanyak 71 lahan milik perusahaan dan satu lahan milik perseorangan di Kalimantan dan Sumatera telah disegel penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian LHK Jasmin Ragil Utomo menuturkan, berdasarkan data perseroan, lahan yang disegel itu terdiri atas 23 perusahaan modal asing, 45 perusahaan modal dalam negeri, dan tiga perusahaan lainnya masih dalam penelusuran.
Dari 72 lahan yang disegel itu, sembilan kasus sudah naik ke tingkat penyidikan dengan delapan tersangka dari korporasi dan satu tersangka perorangan.
Berkas perkara perorangan dengan tersangka UB di Kalimantan Barat sudah dinyatakan lengkap dan tinggal menunggu persidangan. Delapan tersangka lainnya dari korporasi masih dalam proses pemberkasan karena ada beberapa bukti yang perlu dilengkapi.
"Untuk delapan perusahaan belum P21 (berkas perkara belum lengkap)," ungkap Jasmin di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2019.
Jasmin menegaskan pada lahan yang terbukti berulang kali
terbakar, Kementerian LHK tidak hanya menerapkan sanksi administratif seperti penghentian kegiatan hingga pencabutan izin, tetapi juga instrumen pidana lainnya.
Mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang No 32/2009 tentang Lingkungan, Undang-Undang No 39/2014 tentang Perkebunan, dan Undang-Undang No 41/1999 tentang Perhutanan.
"Di dalamnya diatur sanksi penjara maksimal 10 tahun dan denda atas perusakan lingkungan maksimal Rp10 miliar," jelas dia.
Dalam aspek penegakan hukum, terang dia, ada perluasan dalam skala penindakan perlibatan pemerintah daerah dalam pengawasan. Kepala daerah juga dapat memberikan sanksi hukum kepada perusahaan pemegang izin.
Adapun untuk perusahaan pemegang izin usaha perhutanan yang diberikan Kementerian LHK, daerah bisa turut merekomendasikan sanksi.
"Bisa penghentian kegiatan hingga pencabutan izin setelah ada proses pengawasan kemudian terbukti pelanggaran," ucap dia.
Jasmin berharap tidak ada lagi perusahaan yang sengaja membakar
lahan untuk membuka perkebunan. Penegakan hukum juga akan dipertegas untuk pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan.
Musim hujan terlambat
Kepala Subdirektorat Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika M Fadli memaparkan wilayah di atas garis ekuator atau khatulistiwa sudah cukup banyak mendapatkan curah hujan. Sebaliknya daerah-daerah di bagian bawah ekuator akan mengalami keterlambatan awal musim hujan, seperti Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, hingga November 2019.
"Ada hujan lokal, tetapi intensitasnya ringan. Potensi kekeringan ini harus diantisipasi. Apabila daerahnya hutan, masih waspada terjadi kebakaran," terang Fadli.
Fadli menjelaskan kemarau yang lebih panjang di sejumlah wilayah juga dipengaruhi rendahnya penguapan di Samudra Hindia. Sehingga ada daerah yang mengalami hari tanpa hujan hingga tiga bulan.
Untuk proyeksi cuaca dan iklim pada 2020, BMKG mengimbau masyarakat mewaspadai potensi bencana yang terjadi. Pasalnya, dari prakiraan, musim kemarau periode 2020-2030 di Indonesia akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode 2006-2016.
"Musim kemarau akan lebih kering sekitar 20% rata-rata nasional," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AZF)