Jakarta: Kubu eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menghadirkan ahli hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya, Muhammad Solehudin, dalam sidang praperadilan. Dia salah satu anggota tim perumus Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Solehudin mengatakan KPK harus menggunakan UU baru dalam perkara Imam sesuai bunyi Pasal 70 C UU Nomor 19 Tahun 2019. Bila tidak, kata dia, penyidikan KPK tak sah.
"Ketika UU ini sudah berlaku yang baru ini maka semuanya harus menggunakan ketetapan di dalam UU yang baru ini," kata Solehudin dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 6 November 2019.
Solehudin juga mengatakan pada UU baru pimpinan KPK bukan lagi penyidik. Proses hukum penyidikan sebelumnya harus diulang menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Itu konsekuensi atau sanksi ketika proses hukum itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang sudah ditentukan. Ketika dalam waktu yang ditentukan ada perubahan undang-undang maka undang-undang itulah yang berlaku," kata Solehudin.
Dia juga berkomentar soal sikap KPK yang mengisyaratkan asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum, sebagai perpanjang tangan Menpora. dia menilai pertanggungjawaban pidana ada pada orang per orang, bukan soal perpanjangan tangan.
"Misalnya apakah sebagai pelaku, apakah seorang yang menyuruh melakukan, turut melakukan atau sebagai orang yang melakukan sendiri. Tidak ada istilah representasi dalam konsep hukum pidana," kata Solehudin.
Sementara itu, sebagai penyusun naskah akademik UU baru KPK, dia mengaku pernah diundang bersama ahli hukum lainnya untuk memberi masukan. Dia berdampingan dengan pakar hukum lainnya, Romli Atmasasmita, Mahfud MD, dan Yusril Ihza Mahendra.
"Di situ banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dalam proses perjalanan KPK setelah 17 tahun," kata Solehudin.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/0k8DEEdk" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Kubu eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menghadirkan ahli hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya, Muhammad Solehudin, dalam sidang praperadilan. Dia salah satu anggota tim perumus Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Solehudin mengatakan KPK harus menggunakan UU baru dalam perkara Imam sesuai bunyi Pasal 70 C UU Nomor 19 Tahun 2019. Bila tidak, kata dia, penyidikan KPK tak sah.
"Ketika UU ini sudah berlaku yang baru ini maka semuanya harus menggunakan ketetapan di dalam UU yang baru ini," kata Solehudin dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 6 November 2019.
Solehudin juga mengatakan pada UU baru pimpinan KPK bukan lagi penyidik. Proses hukum penyidikan sebelumnya harus diulang menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Itu konsekuensi atau sanksi ketika proses hukum itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang sudah ditentukan. Ketika dalam waktu yang ditentukan ada perubahan undang-undang maka undang-undang itulah yang berlaku," kata Solehudin.
Dia juga berkomentar soal sikap KPK yang mengisyaratkan asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum, sebagai perpanjang tangan
Menpora. dia menilai pertanggungjawaban pidana ada pada orang per orang, bukan soal perpanjangan tangan.
"Misalnya apakah sebagai pelaku, apakah seorang yang menyuruh melakukan, turut melakukan atau sebagai orang yang melakukan sendiri. Tidak ada istilah representasi dalam konsep hukum pidana," kata Solehudin.
Sementara itu, sebagai penyusun naskah akademik UU baru KPK, dia mengaku pernah diundang bersama ahli hukum lainnya untuk memberi masukan. Dia berdampingan dengan pakar hukum lainnya, Romli Atmasasmita, Mahfud MD, dan Yusril Ihza Mahendra.
"Di situ banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dalam proses perjalanan KPK setelah 17 tahun," kata Solehudin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)