Dirut PLN Sofyan Basir. Foto: MI/Angga Yuniar
Dirut PLN Sofyan Basir. Foto: MI/Angga Yuniar

KPK Ultimatum Sofyan Basir

Candra Yuri Nuralam • 27 Mei 2019 19:05
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK0 mengultimatum Direktur Utama nonaktif PLN Sofyan Basir bersikap kooperatif. Penyidik masih menunggu itikad baik Sofyan untuk memenuhi panggilan penyidik hari ini.
 
"Kami tegaskan bahwa belum ada penjadwalan ulang terhadap rencana pemeriksaan SFB, artinya KPK masih menunggu agar SFB beritikad baik dan koperatif datang ke penyidik hari ini,"  kata juru bicara KPK Febry Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.
 
Ini bukan kali pertama mantan Dirut Bank BRI itu tak mengindahkan panggilan penyidik. Sofyan mangkir dari pemeriksaan pada Jumat, 24 Mei 2019, 

"Perlu kami ingatkan kembali, sebelumnya SFB tidak datang pada hari Jumat 24 Mei, sehingga KPK telah melakukan penjadwalan ulang hari ini," ujar Febry.
 
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
 
(Baca: Sofyan Basir Diperiksa Kejaksaan Agung)
 
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
 
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
 
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
 
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
 
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan