Jakarta: Presiden Joko Widodo telah mengakui dan menyesali peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang terjadi di Indonesia sejak 1965 sampai 2003. Langkah itu merupakan satu dari 11 rekomendasi yang disusun oleh Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
Berdasarkan ringkasan eksekutif Tim PPHAM yang diterima MGN dari Ketua Pelaksana Makarim Wibisono, rekomendasi lainnya adalah melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang.
"Seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa," demikian bunyi laporan tersebut yang dikutip Kamis, 12 Januari 2023.
Rekomendasi ketiga dari Tim PPHAM adalah memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang tidak masuk dalam cakupan mandat tim. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 17/2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM memang tidak mengatur secara lugas rekomendasi pemulihan bai para korban dan keluarga korban.
Keempat, tim merekomendasikan untuk melakukan pendataan kembali korban. Berikutnya, memulihkan korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.
Rekomendasi keenam, yakni memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya.
"Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural," sambung laporan tersebut.
Ketujuh, Tim PPHAM merekomendasikan untuk dilakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih luas. Rekomendasi kedelapan, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Kebijakan yang dimaksud dilakukan melalui empat cara, yakni kampanye kesadaran publik, pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya sadar HAM sekaligus memperlihatkan kehadiran engara dalam upaya pendampingan korban, peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari, dan membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
Kesembilan, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejdian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan. Kesepuluh, Tim PPHAM merekomendasikan dilakukannya upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM.
"Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen HAM internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru."
Rekomendasi terakhir ialah membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Untuk diketahui, 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden antara lain Peristiwa 1965-1966 (Peristiwa 65), Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 (Kasus Petrus) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Berikutnya Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Jakarta: Presiden
Joko Widodo telah mengakui dan menyesali peristiwa
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang terjadi di Indonesia sejak 1965 sampai 2003. Langkah itu merupakan satu dari 11 rekomendasi yang disusun oleh Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
Berdasarkan ringkasan eksekutif Tim PPHAM yang diterima
MGN dari Ketua Pelaksana Makarim Wibisono, rekomendasi lainnya adalah melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang.
"Seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa," demikian bunyi laporan tersebut yang dikutip Kamis, 12 Januari 2023.
Rekomendasi ketiga dari Tim PPHAM adalah memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa
pelanggaran HAM berat yang tidak masuk dalam cakupan mandat tim. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 17/2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM memang tidak mengatur secara lugas rekomendasi pemulihan bai para korban dan keluarga korban.
Keempat, tim merekomendasikan untuk melakukan pendataan kembali korban. Berikutnya, memulihkan korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.
Rekomendasi keenam, yakni memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya.
"Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural," sambung laporan tersebut.
Ketujuh, Tim PPHAM merekomendasikan untuk dilakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih luas. Rekomendasi kedelapan, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Kebijakan yang dimaksud dilakukan melalui empat cara, yakni kampanye kesadaran publik, pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya sadar HAM sekaligus memperlihatkan kehadiran engara dalam upaya pendampingan korban, peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari, dan membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
Kesembilan, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejdian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan. Kesepuluh, Tim PPHAM merekomendasikan dilakukannya upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM.
"Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen HAM internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru."
Rekomendasi terakhir ialah membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Untuk diketahui, 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden antara lain Peristiwa 1965-1966 (Peristiwa 65), Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 (Kasus Petrus) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Berikutnya Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)