KPK Buka Peluang Periksa Lembaga Survei yang Disewa Bupati Bangkalan
Fachri Audhia Hafiez • 10 Desember 2022 14:09
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka peluang memeriksa lembaga survei yang diduga disewa tersangka sekaligus Bupati Bangkalan R Abdul Latif Amin Imron (RALAI). Abdul diduga memakai duit korupsi salah satunya untuk survei elektabilitas.
"Ya kalau akan diperiksa nantikan kepentingan penyidik," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu, 10 Desember 2022.
KPK, kata Alex, berpeluang mendalami informasi mengenai kepentingan Abdul menyewa lembaga survei tersebut. Lalu, KPK akan mendalami survei tersebut dilakukan atau tidak.
"Misalnya ada informasi apa, gitu, lembaga survei untuk kepentingan yang bersangkutan akan mencalonkan diri, tinggal kita tanya benar enggak, lembaga survei itu terima gitu kan, dan apakah itu dilakukan surveinya, gitu kan," ucap Alex.
Alex menekankan setiap temuan akan didalami penyidik. Khususnya, terkait aliran uang yang diduga menjadi bukti Abdul terjerat rasuah.
"Tentu kalau menyangkut suap dan lain sebagainya nantikan biasanya dari proses penyidikan itu kan aliran uangnya kan gitu kan, dari mana sumbernya digunakan untuk apa. Kan seperti itu. Maksudnya yang dilakukan KPK kan seperti itu dalam proses penyidikan," ujar Alex.
Abdul ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait lelang jabatan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan, Jawa Timur. Dia juga dijerat dalam perkara penerimaan gratifikasi.
KPK juga menetapkan tersangka lainnya. Yakni, Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hosin Jamili, Kadis PUPR Wildan Yulianto, Kadis Perindustrian dan Tenaga Kerja Salman Hidayat, Kadis Ketahanan Pangan Achmad Mustaqim, serta Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Agus Eka Leandy.
Abdul merupakan pejabat yang memiliki kewenangan untuk memilih dan menentukan kelulusan aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Bangkalan. Jabatan yang dijualnya pada tingkatan eselon tiga dan empat.
Harga untuk satu jabatan mulai dari Rp50 juta sampai Rp150 juta. KPK menduga Abdul sudah mengantongi uang Rp5,3 miliar.
Uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi Abdul. Salah satunya, mengukur survei elektabilitas.
"Sedangkan uang yang diterima RALAI tersebut diperuntukkan untuk keperluan pribadi di antaranya untuk melakukan survei elektabilitas yang bersangkutan," ucap Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember 2022.
Agus, Wildan, Achmad, Hosin, dan Salman ditetapkan sebagai tersangka pemberi. Mereka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Abdul ditetapkan sebagai tersangka penerima. Dia disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka peluang memeriksa lembaga survei yang diduga disewa tersangka sekaligus Bupati Bangkalan R Abdul Latif Amin Imron (RALAI). Abdul diduga memakai duit korupsi salah satunya untuk survei elektabilitas.
"Ya kalau akan diperiksa nantikan kepentingan penyidik," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu, 10 Desember 2022.
KPK, kata Alex, berpeluang mendalami informasi mengenai kepentingan Abdul menyewa lembaga survei tersebut. Lalu, KPK akan mendalami survei tersebut dilakukan atau tidak.
"Misalnya ada informasi apa, gitu, lembaga survei untuk kepentingan yang bersangkutan akan mencalonkan diri, tinggal kita tanya benar enggak, lembaga survei itu terima gitu kan, dan apakah itu dilakukan surveinya, gitu kan," ucap Alex.
Alex menekankan setiap temuan akan didalami penyidik. Khususnya, terkait aliran uang yang diduga menjadi bukti Abdul terjerat rasuah.
"Tentu kalau menyangkut suap dan lain sebagainya nantikan biasanya dari proses penyidikan itu kan aliran uangnya kan gitu kan, dari mana sumbernya digunakan untuk apa. Kan seperti itu. Maksudnya yang dilakukan KPK kan seperti itu dalam proses penyidikan," ujar Alex.
Abdul ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait lelang jabatan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan, Jawa Timur. Dia juga dijerat dalam perkara penerimaan gratifikasi.
KPK juga menetapkan tersangka lainnya. Yakni, Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hosin Jamili, Kadis PUPR Wildan Yulianto, Kadis Perindustrian dan Tenaga Kerja Salman Hidayat, Kadis Ketahanan Pangan Achmad Mustaqim, serta Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Agus Eka Leandy.
Abdul merupakan pejabat yang memiliki kewenangan untuk memilih dan menentukan kelulusan aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Bangkalan. Jabatan yang dijualnya pada tingkatan eselon tiga dan empat.
Harga untuk satu jabatan mulai dari Rp50 juta sampai Rp150 juta. KPK menduga Abdul sudah mengantongi uang Rp5,3 miliar.
Uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi Abdul. Salah satunya, mengukur survei elektabilitas.
"Sedangkan uang yang diterima RALAI tersebut diperuntukkan untuk keperluan pribadi di antaranya untuk melakukan survei elektabilitas yang bersangkutan," ucap Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember 2022.
Agus, Wildan, Achmad, Hosin, dan Salman ditetapkan sebagai tersangka pemberi. Mereka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Abdul ditetapkan sebagai tersangka penerima. Dia disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)