Jakarta: Kejaksaan Agung mengaku kesulitan mengungkap sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengatakan pengungkapan terkendala alat bukti.
Burhanuddin mencontohkan kasus dukun santet ninja dan orang gila Banyuwangi pada 1998 hingga 1999. Kemudian, peristiwa Talangsari, Lampung, pada 1989 dan peristiwa Wasior 2001.
"Untuk peristiwa Wamena tahun 2003 para pelaku telah disidangkan di pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap. Namun, untuk kasus HAM berat penyelidik belum memeriksa dugaan pelakunya," kata Burhanuddin dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Januari 2020.
Burhanuddin menyebut tak adanya pengadilan HAM ad hoc membuat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu semakin sulit diadili. Sedangkan, mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu harus berdasarkan usul DPR dan keputusan presiden.
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala terkait kecukupan alat bukti," ujar dia.
Menurut Burhanuddin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga belum dapat menggambarkan atau menjanjikan minimal dua alat bukti yang dibutuhkan Kejagung. Kemudian, berkas yang disusun penyelidik Komnas HAM juga tidak lengkap.
"Penyebabnya, penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan, tidak cukup bukti hasil penelitian, tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.
Burhanuddin menyampaikan penyelesaian HAM berat dapat dilakukan melalui dua opsi, yakni penyelesaian yudisial dan non yudisial. Penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc, sementara non yudisial melalui kompensasi rehabilitasi.
Jakarta: Kejaksaan Agung mengaku kesulitan mengungkap sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengatakan pengungkapan terkendala alat bukti.
Burhanuddin mencontohkan kasus dukun santet ninja dan orang gila Banyuwangi pada 1998 hingga 1999. Kemudian, peristiwa Talangsari, Lampung, pada 1989 dan peristiwa Wasior 2001.
"Untuk peristiwa Wamena tahun 2003 para pelaku telah disidangkan di pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap. Namun, untuk kasus HAM berat penyelidik belum memeriksa dugaan pelakunya," kata Burhanuddin dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Januari 2020.
Burhanuddin menyebut tak adanya pengadilan HAM ad hoc membuat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu semakin sulit diadili. Sedangkan, mekanisme pembentukan pengadilan HAM
ad hoc itu harus berdasarkan usul DPR dan keputusan presiden.
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala terkait kecukupan alat bukti," ujar dia.
Menurut Burhanuddin,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga belum dapat menggambarkan atau menjanjikan minimal dua alat bukti yang dibutuhkan Kejagung. Kemudian, berkas yang disusun penyelidik Komnas HAM juga tidak lengkap.
"Penyebabnya, penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan, tidak cukup bukti hasil penelitian, tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.
Burhanuddin menyampaikan penyelesaian HAM berat dapat dilakukan melalui dua opsi, yakni penyelesaian yudisial dan non yudisial. Penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc, sementara non yudisial melalui kompensasi rehabilitasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)