Analis Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 22 Mei 2019. Foto: M. Rodhi Aulia/Medcom.id
Analis Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 22 Mei 2019. Foto: M. Rodhi Aulia/Medcom.id

Penanganan Teror Lone Wolf Menjadi Tantangan Bagi Polri

Theofilus Ifan Sucipto • 04 April 2021 09:35
Jakarta: Aksi teror yang dilakukan sendiri (lone wolf) disebut menjadi tantangan bagi Polri. Pelaku yang bertindak sendiri cenderung sulit terdeteksi.
 
“Aksi teror ini sangat berbahaya karena sulit dideteksi. Pelaku merancang dan melakukan sendiri,” kata Analis intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, dalam keterangan tertulis, Minggu, 4 April 2021.
 
Stanislaus menyebut aksi teror sebelumnya dilakukan kelompok besar yang terencana dan rapi. Tren itu bergeser menjadi sistem lone wolf.

“Aksinya tidak didesain atau direncanakan atau dibantu oleh pihak lain,” papar dia.
 
Aksi lone wolf biasanya dipengaruhi ideologi kekerasan dari pelaku. Sehingga peran anggota keluarga untuk mengayomi dan memperhatikan anggota keluarga lain sangat krusial.
 
“Untuk mencegah aksi ini terjadi maka harapan besar terletak pada masing-masing keluarga dan masyarakat,” ujar Stanislaus.
 
Baca: Keluarga Menjadi Kunci Pencegahan Aksi Teror Lone Wolf
 
Menurut dia, seseorang yang terpapar paham radikal seharusnya dapat diketahui orang terdekat. Sebab, biasanya ada perubahan perilaku seperti menarik diri dari masyarakat dan menolak berbaur dengan orang yang keyakinannya berbeda.
 
“Kemudian menolak acara-acara budaya, anti pemerintah, dan menganggap pemerintah sebagai musuh,” tutur Stanislaus.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan