Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Komisi Yudisial (KY) tetap berwenang menyeleksi calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA). Kapasitas KY untuk menyeleksi masih diperlukan.
Hal itu termuat dalam putusan Nomor 92/PUU-XVIII/2020. Pemohon pada putusan itu mengajukan pengujian Pasal 13 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 24 November 2021.
Menurut majelis hakim, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan. Permohonan itu diajukan oleh dosen sekaligus mantan calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi, Burhanudin.
Anggota majelis hakim MK, Saldi Isra, menuturkan wewenang perekrutan hakim ad hoc pada MA berkaitan erat dengan sejumlah hal. Mulai dari upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim guna tegaknya hukum dan keadilan.
"Sebab, dengan adanya hakim ad hoc pada MA diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di MA melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim ad hoc," ujar Saldi.
Baca: KY Awasi Proses Peradilan Kasus Mafia Tanah di Jaktim
Saldi menilai proses seleksi sebagai bentuk perisai untuk menegakkan independensi dan imparsialitas hakim guna mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Seleksi hakim ad hoc di MA oleh KY pun harus dilaksanakan secara profesional dan objektif.
"Menurut Mahkamah, sampai sejauh ini proses seleksi yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim ad hoc di MA masih diperlukan dan sepanjang ada permintaan dari MA," ujar Saldi.
Burhanudin mengajukan gugatan tersebut karena Pasal 13 huruf a pada UU KY dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia menilai KY mestinya sebatas mengusulkan calon hakim agung.
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
Komisi Yudisial (KY) tetap berwenang menyeleksi calon hakim ad hoc di
Mahkamah Agung (MA). Kapasitas KY untuk menyeleksi masih diperlukan.
Hal itu termuat dalam putusan Nomor 92/PUU-XVIII/2020. Pemohon pada putusan itu mengajukan pengujian Pasal 13 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 24 November 2021.
Menurut majelis hakim, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau
legal standing untuk mengajukan permohonan. Permohonan itu diajukan oleh dosen sekaligus mantan calon hakim
ad hoc tindak pidana korupsi, Burhanudin.
Anggota majelis hakim MK, Saldi Isra, menuturkan wewenang perekrutan hakim
ad hoc pada MA berkaitan erat dengan sejumlah hal. Mulai dari upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim guna tegaknya hukum dan keadilan.
"Sebab, dengan adanya hakim
ad hoc pada MA diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di MA melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim
ad hoc," ujar Saldi.
Baca:
KY Awasi Proses Peradilan Kasus Mafia Tanah di Jaktim
Saldi menilai proses seleksi sebagai bentuk perisai untuk menegakkan independensi dan imparsialitas hakim guna mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Seleksi hakim
ad hoc di MA oleh KY pun harus dilaksanakan secara profesional dan objektif.
"Menurut Mahkamah, sampai sejauh ini proses seleksi yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim
ad hoc di MA masih diperlukan dan sepanjang ada permintaan dari MA," ujar Saldi.
Burhanudin mengajukan gugatan tersebut karena Pasal 13 huruf a pada UU KY dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia menilai KY mestinya sebatas mengusulkan calon hakim agung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)