Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI meminta komitmen pemerintah melaksanakan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menuturkan pihaknya mengapresiasi langkah-langkah konkret terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat oleh pemerintah.
Namun, Komnas mengingatkan dalam pemulihan hak para korban perlu kehati-hatian. Pasalnya ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah diselidiki Komnas HAM, tetapi korbannya belum mendapatkan hak-hak mereka.
"Di antaranya Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Bener Gajah Timang Meriah," ujar Atnike melalui keterangan tertulis, Minggu, 2 Juli 2023.
Seperti diberitakan, pemerintah telah meluncurkan Program Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong Bilie Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa, 27 Juni lalu.
Korban, ujar Atnike, merupakan subjek yang memiliki hak atas keadilan, kebenaran, pemulihan, dan pencegahan keberulangan. Oleh karena itu, menurutnya dalam setiap proses mekanisme nonyudisial, pemerintah perlu mendengarkan aspirasi korban.
Komnas, imbuhnya, memperkirakan jumlah korban yang telah didata saat ini belum final. Oleh karena itu, menurut Atnike, data korban yang ada saat ini masih dapat terus bertambah.
Komnas menegaskan pemerintah berkewajiban menginformasikan setiap prosedur bagi korban untuk mendapatkan hak mereka. Selain itu, ujar dia, pemerintah perlu memastikan ruang lingkup korban yang dapat menerima program pemulihan, termasuk ruang lingkup bagi keluarga dan/atau waris.
"Hal ini perlu diperhatikan agar keberhakan (entitlement) korban terhadap bentuk-bentuk program dan layanan tepat sasaran," imbuh dia.
Komnas juga meminta pemerintah menjamin proses, metode identifikasi, serta pengumpulan data korban dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga tidak menimbulkan retraumatisasi kepada korban, dan menghasilkan data korban yang akurat.
"Korban adalah subjek dengan hak selaku korban pelanggaran HAM yang berat, maka bentuk-bentuk program yang disediakan bagi korban harus dibedakan dengan hak penerima bantuan sosial ataupun asistensi sosial pada umumnya," tegas Atnike.
Pemerintah menurutnya harus mengenali dan mengakui bahwa korban menghadapi situasi, kerugian, serta dampak yang beragam dan perlu memastikan adanya pertimbangan khusus dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemenuhan hak korban. Termasuk, perlakuan khusus bagi kelompok tertentu, seperti lansia, perempuan korban kekerasan seksual, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lainnya.
Adapun mengenai rencana memorialisasi sebagai bentuk simbolik dan pemulihan atas pelanggaran HAM masa lalu, Komnas meminta agar memorialisasi bertujuan untuk memberikan ruang bagi korban, menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat mengenang pengalaman masa lalu. Tujuannya mencegah keberulangan.
"Setiap upaya pembentukan memorialisasi harus dikonsultasikan dengan korban dan komunitas," ucapnya.
Komnas HAM berpendapat memorialisasi dapat berupa pendirian monumen, penetapan hari besar peringatan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, dan bentuk lain yang sesuai dengan konteks sosial masyarakat. Tetapi, tegas Atnike, prinsip kehati-hatian perlu diperhatikan dalam pendirian memorialisasi agar tidak menimbulkan polemik yang kontra produktif terhadap upaya-upaya nonyudisial maupun yudisial.
"Komnas HAM mengapresiasi pernyataan Presiden dan Menko Polhukam yang kembali menegaskan bahwa mekanisme nonyudisial tidak dilakukan untuk menggantikan mekanisme yudisial. Komnas HAM meminta pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap penguatan mekanisme yudisial," ungkapnya.
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM) RI meminta komitmen pemerintah melaksanakan rekomendasi penyelesaian nonyudisial
pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menuturkan pihaknya mengapresiasi langkah-langkah konkret terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat oleh pemerintah.
Namun, Komnas mengingatkan dalam pemulihan hak para korban perlu kehati-hatian. Pasalnya ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah diselidiki Komnas HAM, tetapi korbannya belum mendapatkan hak-hak mereka.
"Di antaranya Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Bener Gajah Timang Meriah," ujar Atnike melalui keterangan tertulis, Minggu, 2 Juli 2023.
Seperti diberitakan, pemerintah telah meluncurkan Program Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong Bilie Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa, 27 Juni lalu.
Korban, ujar Atnike, merupakan subjek yang memiliki hak atas keadilan, kebenaran, pemulihan, dan pencegahan keberulangan. Oleh karena itu, menurutnya dalam setiap proses mekanisme nonyudisial, pemerintah perlu mendengarkan aspirasi korban.
Komnas, imbuhnya, memperkirakan jumlah korban yang telah didata saat ini belum final. Oleh karena itu, menurut Atnike, data korban yang ada saat ini masih dapat terus bertambah.
Komnas menegaskan pemerintah berkewajiban menginformasikan setiap prosedur bagi korban untuk mendapatkan hak mereka. Selain itu, ujar dia, pemerintah perlu memastikan ruang lingkup korban yang dapat menerima program pemulihan, termasuk ruang lingkup bagi keluarga dan/atau waris.
"Hal ini perlu diperhatikan agar keberhakan (
entitlement) korban terhadap bentuk-bentuk program dan layanan tepat sasaran," imbuh dia.
Komnas juga meminta pemerintah menjamin proses, metode identifikasi, serta pengumpulan data korban dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga tidak menimbulkan retraumatisasi kepada korban, dan menghasilkan data korban yang akurat.
"Korban adalah subjek dengan hak selaku korban pelanggaran HAM yang berat, maka bentuk-bentuk program yang disediakan bagi korban harus dibedakan dengan hak penerima bantuan sosial ataupun asistensi sosial pada umumnya," tegas Atnike.
Pemerintah menurutnya harus mengenali dan mengakui bahwa korban menghadapi situasi, kerugian, serta dampak yang beragam dan perlu memastikan adanya pertimbangan khusus dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemenuhan hak korban. Termasuk, perlakuan khusus bagi kelompok tertentu, seperti lansia, perempuan korban kekerasan seksual, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lainnya.
Adapun mengenai rencana memorialisasi sebagai bentuk simbolik dan pemulihan atas pelanggaran HAM masa lalu, Komnas meminta agar memorialisasi bertujuan untuk memberikan ruang bagi korban, menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat mengenang pengalaman masa lalu. Tujuannya mencegah keberulangan.
"Setiap upaya pembentukan memorialisasi harus dikonsultasikan dengan korban dan komunitas," ucapnya.
Komnas HAM berpendapat memorialisasi dapat berupa pendirian monumen, penetapan hari besar peringatan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, dan bentuk lain yang sesuai dengan konteks sosial masyarakat. Tetapi, tegas Atnike, prinsip kehati-hatian perlu diperhatikan dalam pendirian memorialisasi agar tidak menimbulkan polemik yang kontra produktif terhadap upaya-upaya nonyudisial maupun yudisial.
"Komnas HAM mengapresiasi pernyataan Presiden dan Menko Polhukam yang kembali menegaskan bahwa mekanisme nonyudisial tidak dilakukan untuk menggantikan mekanisme yudisial. Komnas HAM meminta pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap penguatan mekanisme yudisial," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)