Direktur LBHM Muhammad Afif sekaligus kuasa hukum Merri menjelaskan seharusnya Presiden Jokowi mempertimbangkan durasi pemenjaraan Merry yang melebihi 22 tahun. Sehingga, ia menilai kliennya seharusnya mendapatkan grasi bebas dari penjara.
"Sehingga Keppres tersebut sejatinya berbunyi mengubah dari pidana mati menjadi pidana penjara waktu tertentu," ujar Afif dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 April 2023.
Hal ini juga selaras dengan batas durasi maksimal pemenjaraan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu 20 tahun. Selain itu, Presiden Jokowi dinilai telah melewati jangka waktu dalam memutuskan pemberian grasi, yakni paling lama tiga bulan sejak diterimanya pertimbangaan Mahkamah Agung (MA).
| Baca: Presiden Berikan Grasi Terpidana Mati Merri Utami, ICJR: Langkah Penting Kebijakan Hukum RI |
Padahal, kata Afif, MA telah memberikan pertimbangan pemberiaan grasi ke presiden sejak 2016. Artinya eksekusi mati Merry telah ditunda selama lebih enam tahun. Hal ini dinilai menimbulkan beban psikologis dan mental yang bertubi-tubi.
Affif meminta Presiden Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menindaklanjuti kembali putusan seumur hidup menjadi pidana penjara dengan waktu tertentu. Ia menilai, Meeri seharusnya bisa bebas dari penjara mengingat durasi hukuman yang telah dijalani telah melebihi batas maksimal pemenjaraan yang diatur dalam KUHP.
Merri Utami adalah seorang korban perdagangan orang yang telah duduk dalam deret tunggu terpidana mati lebih dari 20 tahun sejak dijatuhi Pidana Mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Grasi ini telah diajukan sejak 2016. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G/2023 mengubah pidana mati Merri Utami menjadi hukuman seumur hidup.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id