Jakarta: Uji materiel terhadap Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon gugatan ini ialah Rahmawati Salam, seorang ibu rumah tangga.
Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi membatalkan norma pengajuan kembali (PK) dalam UU PTUN. Pemohon menyebut norma yang diuji mengenai permohonan PK kepada Mahkamah Agung (MA) atas putusan pengadilan yang inkrah, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menyatakan, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan kasus konkret yang dialaminya. Ia merupakan penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di PTUN Jakarta melawan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Menteri ATR/BPN RI). Gugatan Pemohon telah dikabulkan sebagian oleh PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT pada 24 Mei 2022.
Kemudian, Menteri ATR/BPN mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Sementara itu, PTTUN Jakarta dalam putusannya menguatkan putusan sebelumnya dengan perbaikan amar, sehingga mengabulkan seluruhnya melalui Putusan Nomor 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT pada 16 Agustus 2022.
Selanjutnya, Menteri ATR/BPN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding PTTUN Jakarta. Namun, MA dalam Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 pada 20 Juni 2023, menolak permohonan kasasi tersebut. Dengan demikian, pada 7 Agustus 2023, Pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri ATR/BPN agar melaksanakan Putusan Kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, Menteri ATR/BPN justru melakukan upaya hukum PK atas Putusan Kasasi MA. Menurut Pemohon, adanya Pasal 132 ayat (1) UU PTUN sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena membuat badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) in casu Menteri ATR/BPN tidak dibatasi untuk mengajukan PK atas Putusan Kasasi yang telah inkracht.
“Tidaklah adil jika dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, Badan dan/atau Pejabat TUN masih diberikan kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Erzad Kasshiraghi, Kamis, 22 Februari 2024.
Pemohon mengatakan Mahkamah harus mempertimbangkan realita hukum di mana pedoman penanganan perkara oleh badan-badan pemerintah mewajibkan penanganan perkara dilakukan sampai ke tingkat PK. Menurut dia, memberikan hak kepada badan atau pejabat pemerintah untuk mengajukan PK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam praktiknya upaya PK hanya digunakan sebagai alasan untuk menunda atau memperlambat pelaksanaan eksekusi atas suatu putusan.
“Sebagaimana kasus konkret yang dialami Pemohon, hal ini membuat PK kehilangan esensinya sebagai upaya hukum luar biasa,” ujar Erzad.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon lebih jelas menguraikan pertentangan antara Pasal 132 ayat (1) UU PTUN dan batu uji dalam UUD 1945 yang dimohonkan. Enny mengingatkan MK tidak menyelesaikan kasus konkret, melainkan norma hukum yang berlaku erga omnes. Kasus konkret yang dialami Pemohon hanya sebagai pintu masuk mengajukan permohonan uji materi ke MK.
Jakarta: Uji materiel terhadap Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) diajukan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon gugatan ini ialah Rahmawati Salam, seorang ibu rumah tangga.
Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi membatalkan norma pengajuan kembali (PK) dalam UU PTUN. Pemohon menyebut norma yang diuji mengenai permohonan PK kepada Mahkamah Agung (MA) atas putusan
pengadilan yang inkrah, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menyatakan, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan kasus konkret yang dialaminya. Ia merupakan penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di PTUN Jakarta melawan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Menteri ATR/BPN RI). Gugatan Pemohon telah dikabulkan sebagian oleh PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT pada 24 Mei 2022.
Kemudian, Menteri ATR/BPN mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Sementara itu, PTTUN Jakarta dalam putusannya menguatkan putusan sebelumnya dengan perbaikan amar, sehingga mengabulkan seluruhnya melalui Putusan Nomor 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT pada 16 Agustus 2022.
Selanjutnya, Menteri ATR/BPN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding PTTUN Jakarta. Namun, MA dalam Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 pada 20 Juni 2023, menolak permohonan kasasi tersebut. Dengan demikian, pada 7 Agustus 2023, Pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri ATR/BPN agar melaksanakan Putusan Kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, Menteri ATR/BPN justru melakukan upaya hukum PK atas Putusan Kasasi MA. Menurut Pemohon, adanya Pasal 132 ayat (1) UU PTUN sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena membuat badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) in casu Menteri ATR/BPN tidak dibatasi untuk mengajukan PK atas Putusan Kasasi yang telah inkracht.
“Tidaklah adil jika dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, Badan dan/atau Pejabat TUN masih diberikan kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Erzad Kasshiraghi, Kamis, 22 Februari 2024.
Pemohon mengatakan Mahkamah harus mempertimbangkan realita hukum di mana pedoman penanganan perkara oleh badan-badan pemerintah mewajibkan penanganan perkara dilakukan sampai ke tingkat PK. Menurut dia, memberikan hak kepada badan atau pejabat pemerintah untuk mengajukan PK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam praktiknya upaya PK hanya digunakan sebagai alasan untuk menunda atau memperlambat pelaksanaan eksekusi atas suatu putusan.
“Sebagaimana kasus konkret yang dialami Pemohon, hal ini membuat PK kehilangan esensinya sebagai upaya hukum luar biasa,” ujar Erzad.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon lebih jelas menguraikan pertentangan antara Pasal 132 ayat (1) UU PTUN dan batu uji dalam UUD 1945 yang dimohonkan. Enny mengingatkan MK tidak menyelesaikan kasus konkret, melainkan norma hukum yang berlaku erga omnes. Kasus konkret yang dialami Pemohon hanya sebagai pintu masuk mengajukan permohonan uji materi ke MK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)