Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) masih meneliti berkas perkara kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua. Kejagung akan memutuskan nasib kasus dugaan pelanggaran HAM berat itu setelah berkas perkara diteliti secara mendalam.
"Ini kan dugaan pelanggaran HAM berat. Diperiksa (Kejaksaan) sependapat atau tidak. Kalau tidak sependapat berarti unsurnya belum terpenuhi (untuk menjadi kasus pelanggaran HAM berat)," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Maret 2020.
Ali belum bisa memastikan kapan pemeriksaan berkas perkara itu rampung. Dia tengah menunggu perkembangannya dari Direktorat HAM Kejagung yang menangani kasus Paniai.
"Tim masih memperbaiki. Pasti akan diberi petunjuk supaya nanti mencari alat bukti soal ini dan lain-lain," kata Ali.
Ali menegaskan Kejagung tidak bisa ikut campur dalam penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelidikan hanya dapat dilakukan Komnas HAM.
"HAM berat itu diatur dalam undang-undang tersendiri. Urusan materi perkara itu urusan Komnas HAM, jaksa hanya menilai. Bukan jaksa tidak bisa mencari alat bukti, bisa. Tapi perintahnya bukan pada Kejaksaan," ujar Ali.
Baca: Berkas Perkara Paniai Belum Penuhi Syarat
Pada 3 Februari 2020, paripurna khusus Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian menyerahkan berkas penyelidikan peristiwa Paniai ke Kejaksaan Agung pada Selasa, 11 Februari 2020.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan peristiwa kekerasan kepada penduduk sipil mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk. Sebanyak 21 orang lain mengalami penganiayaan.
"Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut," ujar Taufan.
Ilustrasi pelanggaran HAM berat. ANT/Abriawan Abhe
Taufan menjelaskan keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil pendalaman tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai. Tim ad hoc bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sejak 2015-2020.
Ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, M Choirul Anam, mengatakan peristiwa kekerasan di Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan.
"Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi," terang dia.
Tim ad hoc telah memeriksa 26 saksi, meninjau dan memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) di Enarotali, Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, serta diskusi ahli. Kesimpulan dari penyelidikan ini ialah anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai orang yang bertanggung jawab.
Tim ad hoc juga menemukan pelanggaran yang diduga dilakukan anggota kepolisian, namun bukan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian merekomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri.
Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) masih meneliti berkas perkara kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua. Kejagung akan memutuskan nasib kasus dugaan pelanggaran HAM berat itu setelah berkas perkara diteliti secara mendalam.
"Ini kan dugaan pelanggaran HAM berat. Diperiksa (Kejaksaan) sependapat atau tidak. Kalau tidak sependapat berarti unsurnya belum terpenuhi (untuk menjadi kasus pelanggaran HAM berat)," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Maret 2020.
Ali belum bisa memastikan kapan pemeriksaan berkas perkara itu rampung. Dia tengah menunggu perkembangannya dari Direktorat HAM Kejagung yang menangani kasus Paniai.
"Tim masih memperbaiki. Pasti akan diberi petunjuk supaya nanti mencari alat bukti soal ini dan lain-lain," kata Ali.
Ali menegaskan Kejagung tidak bisa ikut campur dalam penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelidikan hanya dapat dilakukan Komnas HAM.
"HAM berat itu diatur dalam undang-undang tersendiri. Urusan materi perkara itu urusan Komnas HAM, jaksa hanya menilai. Bukan jaksa tidak bisa mencari alat bukti, bisa. Tapi perintahnya bukan pada Kejaksaan," ujar Ali.
Baca: Berkas Perkara Paniai Belum Penuhi Syarat
Pada 3 Februari 2020, paripurna khusus Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian menyerahkan berkas penyelidikan peristiwa Paniai ke Kejaksaan Agung pada Selasa, 11 Februari 2020.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan peristiwa kekerasan kepada penduduk sipil mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk. Sebanyak 21 orang lain mengalami penganiayaan.
"Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut," ujar Taufan.
Ilustrasi pelanggaran HAM berat. ANT/Abriawan Abhe
Taufan menjelaskan keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil pendalaman tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai. Tim ad hoc bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sejak 2015-2020.
Ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, M Choirul Anam, mengatakan peristiwa kekerasan di Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan.
"Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi," terang dia.
Tim ad hoc telah memeriksa 26 saksi, meninjau dan memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) di Enarotali, Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, serta diskusi ahli. Kesimpulan dari penyelidikan ini ialah anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai orang yang bertanggung jawab.
Tim ad hoc juga menemukan pelanggaran yang diduga dilakukan anggota kepolisian, namun bukan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian merekomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)