Jakarta: Kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu, Riau, dinilai lebih pantas ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kasus itu dilakukan aparat penegak hukum.
"Menurut saya, idealnya dugaan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango di Jakarta, Rabu, 19 Agustus 2020.
Menurut Nawawi, KPK akan lebih adil dalam mengusut kasus dugaan pemerasan ini. Publik juga dinilai akan lebih percaya karena bukan anggota KPK yang terlibat.
"Di berbagai negara lain, pada umumnya kehadiran lembaga-lembaga antikorupsi dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum di negara-negara tersebut dalam menangani perkara korupsi, yang dilakukan oleh dan dalam lingkungan kerja aparat itu sendiri," ujar Nawawi.
Namun, KPK tidak bisa langsung menyerobot kasus ini dari Kejaksaan Agung. KPK baru bisa menanganinya bila Kejaksaan Agung menyerahkan kasus tersebut.
"Akan lebih pas kalau ada kehendak sendiri untuk melimpahkan penanganan-penanganan perkara semacam itu kepada KPK dan KPK tidak hanya berada dalam koridor supervisi," tutur Nawawi.
Baca: Tiga Jaksa Tersangka Kasus Pemerasan 64 Kepala Sekolah di Riau
Sebanyak tiga jaksa ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Mereka ialah Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu, HS, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Indragiri Hulu, OAP, dan Kepala Sub Seksi Barang Rampasan Pengelolaan Barang Bukti dan Rampasan Kejari Indragiri Hulu, RFR.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menjelaskan masing-masing sekolah mendapat dana BOS Rp65 juta saat pencairan pertama. Para tersangka kemudian meminta jatah Rp10 juta-Rp15 juta pada setiap sekolah.
"Total keseluruhan sementara ini sekitar hampir Rp650 juta," ungkap Hari, Selasa, 18 Agustus 2020.
Ketiga tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung. Mereka ditahan untuk 20 hari pertama.
Ketiganya dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 atau Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Kasus dugaan
pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu, Riau, dinilai lebih pantas ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK). Pasalnya, kasus itu dilakukan aparat penegak hukum.
"Menurut saya, idealnya dugaan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango di Jakarta, Rabu, 19 Agustus 2020.
Menurut Nawawi, KPK akan lebih adil dalam mengusut kasus dugaan pemerasan ini. Publik juga dinilai akan lebih percaya karena bukan anggota KPK yang terlibat.
"Di berbagai negara lain, pada umumnya kehadiran lembaga-lembaga antikorupsi dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum di negara-negara tersebut dalam menangani perkara korupsi, yang dilakukan oleh dan dalam lingkungan kerja aparat itu sendiri," ujar Nawawi.
Namun, KPK tidak bisa langsung menyerobot kasus ini dari
Kejaksaan Agung. KPK baru bisa menanganinya bila Kejaksaan Agung menyerahkan kasus tersebut.
"Akan lebih pas kalau ada kehendak sendiri untuk melimpahkan penanganan-penanganan perkara semacam itu kepada KPK dan KPK tidak hanya berada dalam koridor supervisi," tutur Nawawi.
Baca: Tiga Jaksa Tersangka Kasus Pemerasan 64 Kepala Sekolah di Riau
Sebanyak tiga jaksa ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Mereka ialah Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu, HS, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Indragiri Hulu, OAP, dan Kepala Sub Seksi Barang Rampasan Pengelolaan Barang Bukti dan Rampasan Kejari Indragiri Hulu, RFR.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menjelaskan masing-masing sekolah mendapat dana BOS Rp65 juta saat pencairan pertama. Para tersangka kemudian meminta jatah Rp10 juta-Rp15 juta pada setiap sekolah.
"Total keseluruhan sementara ini sekitar hampir Rp650 juta," ungkap Hari, Selasa, 18 Agustus 2020.
Ketiga tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung. Mereka ditahan untuk 20 hari pertama.
Ketiganya dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 atau Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)