Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang mempersoalkan hak usung calon presiden dengan syarat ambang batas minimum dalam Pemilu 2024. PKN dinilai tidak memiliki kedudukan hukum karena tak terlibat dalam pemilu sebelumnya.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dimaksudkan untuk mengatur ambang batas minimum perolehan suara. Hal itu sebagai syarat yang berlaku bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Tidak dapat diterima atas permohonan tersebut karena batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon," ungkap Wadhiduddin dalam sidang MK, Kamis, 30 Maret 2023.
Wahiduddin menjelaskan ketentuan tersebut terkait persyaratan pengusulan pasangan capres dan cawapres berdasarkan perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya. Hakim konstitusi menilai hal tersebut tidak berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru untuk mengusung pasangan capres dan cawapres pada Pemilu 2024.
"Sebab Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden," jelasnya.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. "Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan,” ucapnya.
Namun, Wakil MK Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum Pemohon. Menurut dia, Pemohon merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap proses dan tata cara pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Dengan demikian, secara konstitusional tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Artinya, sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum 2024, tidak ada keraguan bagi Pemohon untuk mengajukan penilaian terhadap inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017,” sebut Saldi.
Sebelumnya, PKN mempersoalkan adanya diskriminasi terhadap partai politik pengusul pasangan presiden dan wakil presiden. Pemohon mengatakan sebaiknya kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu setiap periode harus dibaca berbeda meski mayoritas pesertanya sama.
Artinya, setiap periode pemilu, parpol harus kembali mendaftar, baik parpol peserta pemilu yang lama maupun baru atau menganut stelsel daftar aktif. Dengan demikian, jika suatu parpol tidak mendaftar, parpol yang bersangkutan tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya meski pada masa ini memiliki wakil di parlemen nasional.
Menurut Pemohon, dengan adanya putusan pemilu serentak, tentu menjadi aneh dan janggal ada perhitungan berbasiskan data pemilih yang berbeda untuk pelaksanaan satu periode pemilu. Untuk persyaratan mendaftar pencalonan capres dan cawapres menggunakan basis pemilih yang lama, namun untuk pemilihannya menggunakan basis pemilih yang baru. Hal ini menjadi anomali dan tidak konsisten, padahal perhitungan pemilih merupakan hal yang esensial dalam pemilu.
Konsekuensi keserentakan, menurut Pemohon, seharusnya dikembalikan kepada esensi dan substansi dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada parpol peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres tanpa persyaratan tambahan apapun. Sedangkan, Pasal 222 UU Pemilu mengatur soal persyaratan presidential threshold baik dengan alokasi kursi maupun suara sah, dan Mahkamah menilai itu sebagai open legal policy.
Sudah seharusnya aturan tersebut juga tidak mencabut dan menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu lainya yang tidak bisa memilih di antara dua pilihan persyaratan tersebut. Jika melihat ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik peserta pemilu yang sah.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang mempersoalkan hak usung calon presiden dengan syarat ambang batas minimum dalam
Pemilu 2024. PKN dinilai tidak memiliki kedudukan hukum karena tak terlibat dalam pemilu sebelumnya.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dimaksudkan untuk mengatur ambang batas minimum perolehan suara. Hal itu sebagai syarat yang berlaku bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Tidak dapat diterima atas permohonan tersebut karena batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon," ungkap Wadhiduddin dalam sidang MK, Kamis, 30 Maret 2023.
Wahiduddin menjelaskan ketentuan tersebut terkait persyaratan pengusulan pasangan capres dan cawapres berdasarkan perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya. Hakim konstitusi menilai hal tersebut tidak berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru untuk mengusung pasangan capres dan cawapres pada Pemilu 2024.
"Sebab Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden," jelasnya.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. "Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan,” ucapnya.
Namun, Wakil MK Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum Pemohon. Menurut dia, Pemohon merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap proses dan tata cara pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Dengan demikian, secara konstitusional tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Artinya, sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum 2024, tidak ada keraguan bagi Pemohon untuk mengajukan penilaian terhadap inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017,” sebut Saldi.
Sebelumnya, PKN mempersoalkan adanya diskriminasi terhadap partai politik pengusul pasangan presiden dan wakil presiden. Pemohon mengatakan sebaiknya kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu setiap periode harus dibaca berbeda meski mayoritas pesertanya sama.
Artinya, setiap periode pemilu, parpol harus kembali mendaftar, baik parpol peserta pemilu yang lama maupun baru atau menganut
stelsel daftar aktif. Dengan demikian, jika suatu parpol tidak mendaftar, parpol yang bersangkutan tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya meski pada masa ini memiliki wakil di parlemen nasional.
Menurut Pemohon, dengan adanya putusan pemilu serentak, tentu menjadi aneh dan janggal ada perhitungan berbasiskan data pemilih yang berbeda untuk pelaksanaan satu periode pemilu. Untuk persyaratan mendaftar pencalonan capres dan cawapres menggunakan basis pemilih yang lama, namun untuk pemilihannya menggunakan basis pemilih yang baru. Hal ini menjadi anomali dan tidak konsisten, padahal perhitungan pemilih merupakan hal yang esensial dalam pemilu.
Konsekuensi keserentakan, menurut Pemohon, seharusnya dikembalikan kepada esensi dan substansi dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada parpol peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres tanpa persyaratan tambahan apapun. Sedangkan, Pasal 222 UU Pemilu mengatur soal persyaratan
presidential threshold baik dengan alokasi kursi maupun suara sah, dan Mahkamah menilai itu sebagai
open legal policy.
Sudah seharusnya aturan tersebut juga tidak mencabut dan menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu lainya yang tidak bisa memilih di antara dua pilihan persyaratan tersebut. Jika melihat ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik peserta pemilu yang sah.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)