Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan personelnya menyosialisasikan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tak hanya kepada jajaran internal Polri, sosialisasi perlu diberikan kepada masyarakat.
"Sehingga tidak dibentur-benturkan (dengan UU ITE). Karena saya melihat di perkembangan media sosial, statement kita masih belum seragam. Saya harapkan bisa kita samakan," kata Listyo di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Februari 2021.
Pembenturan yang dimaksud Listyo, yakni menghubung-hubungkan sikap terbaru Polri atas UU ITE terhadap kasus yang sedang diproses. Namun, Listyo tidak menyebutkan contoh pembenturan itu.
Baca: Revisi UU ITE Bisa Masuk Prolegnas Prioritas Tanpa Harus Menunggu 2022
Menurut dia, dalam perkembangan dunia siber, UU ITE masih menjadi isu yang diperbincangkan masyarakat. Hal ini mendorong Presiden Joko Widodo membentuk tim pengkaji UU ITE.
Listyo langsung merespons sikap pemerintah. Dia mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
"Saya harapkan bisa dilaksanakan secara selektif surat edaran yang sudah dikeluarkan," ungkap jenderal bintang empat itu.
Ada 11 poin yang harus dijalankan penyidik Korps Bhayangkara dalam SE itu, yakni:
1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
5. Sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
6. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
7. Penyidik berprinsip hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice, terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, tetapi tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
11. Pengawasan perlu dilakukan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui
virtual police dan
virtual alert yang bertujuan memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
5. Sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
6. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
7. Penyidik berprinsip hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (
ultimum remedium) dan mengedepankan
restorative justice dalam penyelesaian perkara.
8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan
restorative justice, terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, tetapi tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
11. Pengawasan perlu dilakukan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)