Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus rasuah di Probolinggo, bukan sekadar jual beli jabatan. Lembaga Antikorupsi menyebut ada kasus lain yang masih didalami.
"Yang (kasus di) Probolinggo itu kemudian membuka banyak ruang-ruang korupsi lain yang dapat akan kami tindaklanjuti," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Jakarta, Kamis, 23 September 2021.
Ghufron masih menutup rapat informasi tentang dugaan rasuah lain di sana. Hal ini dilakukan agar tidak menggangu proses pencarian barang bukti perkara.
"Sementara ini, karena kami sedang bekerja, tidak dapat kami sampaikan," ujar Ghufron.
Sebanyak 22 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Probolinggo. Empat orang penerima, yakni Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana Sari, anggota DPR Hasan Aminuddin, Camat Krejengan Doddy Kurniawan, dan Camat Paiton Muhamad Ridwan. Sementara itu, 18 pemberi, yakni Sumarto, Ali Wafa, Mawardi, dan Mashudi.
Lembaga Antikorupsi juga menetapkan Maliha, Mohammad Bambang, Masruhen, Abdul Wafi, Kho'im, Akhmad Saifullah, Jaelani, Uhar, Nurul Hadi, Nuruh Huda, Hasan, Sahir, Sugito, dan Syamsuddin sebagai tersangka pemberi. Mereka semua merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Probolinggo.
Baca: Pengusulan Nama dalam Jual Beli Jabatan di Probolinggo Didalami
Puput diduga memanfaatkan kuasanya untuk mengambil untuk dari jabatan kosong. Dia mematok harga Rp20 juta untuk satu jabatan. Dalam hal ini, Puput berhak menunjuk orang untuk mengisi jabatan yang kosong sesuai dengan aturan yang berlaku.
Saat ini KPK tengah mendalami motif Puput. Lembaga Antikorupsi bersyukur jual beli jabatan itu bisa dihalau sebelum makin menjadi.
Dalam kasus ini, pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu, penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menyebut
kasus rasuah di Probolinggo, bukan sekadar
jual beli jabatan. Lembaga Antikorupsi menyebut ada kasus lain yang masih didalami.
"Yang (kasus di) Probolinggo itu kemudian membuka banyak ruang-ruang korupsi lain yang dapat akan kami tindaklanjuti," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Jakarta, Kamis, 23 September 2021.
Ghufron masih menutup rapat informasi tentang dugaan rasuah lain di sana. Hal ini dilakukan agar tidak menggangu proses pencarian barang bukti perkara.
"Sementara ini, karena kami sedang bekerja, tidak dapat kami sampaikan," ujar Ghufron.
Sebanyak 22 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Probolinggo. Empat orang penerima, yakni Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana Sari, anggota DPR Hasan Aminuddin, Camat Krejengan Doddy Kurniawan, dan Camat Paiton Muhamad Ridwan. Sementara itu, 18 pemberi, yakni Sumarto, Ali Wafa, Mawardi, dan Mashudi.
Lembaga Antikorupsi juga menetapkan Maliha, Mohammad Bambang, Masruhen, Abdul Wafi, Kho'im, Akhmad Saifullah, Jaelani, Uhar, Nurul Hadi, Nuruh Huda, Hasan, Sahir, Sugito, dan Syamsuddin sebagai tersangka pemberi. Mereka semua merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Probolinggo.
Baca:
Pengusulan Nama dalam Jual Beli Jabatan di Probolinggo Didalami
Puput diduga memanfaatkan kuasanya untuk mengambil untuk dari jabatan kosong. Dia mematok harga Rp20 juta untuk satu jabatan. Dalam hal ini, Puput berhak menunjuk orang untuk mengisi jabatan yang kosong sesuai dengan aturan yang berlaku.
Saat ini KPK tengah mendalami motif Puput. Lembaga Antikorupsi bersyukur jual beli jabatan itu bisa dihalau sebelum makin menjadi.
Dalam kasus ini, pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu, penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)