Jakarta: Kasus stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan bersama. Masyarakat dan pemerintah mesti menganggap serius hal ini.
Khususnya pemerintah, yang memiliki pekerjaan untuk menjauhkan penanganan stunting dari korupsi. Penganggaran dana, dan seluruh strategi pencegahan yang sudah dibangun bakal sia-sia jika duit penanganan stunting dicolong oknum.
Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah Castro menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sering memberikan masukan maupun kritik terkait penanganan stunting di Indonesia. Namun, hal tersebut hanya bersifat kajian.
"Cuma KPK sendiri tidak ada follow up soal indikasi salah kelola dana stunting ini," kata Herdiansyah kepada Medcom.id, Selasa, 26 September 2023.
Menurut dia, ada tiga aspek yang harus dibenahi untuk menjauhkan korupsi dalam penanganan stunting di Indonesia. Pertama, mengetatkan pemantauan penyaluran anggaran.
"Terutama dugaan pendanaan yang tumpang tindih antara daerah dan pusat," ujar Herdiansyah.
Dia meminta pemerintah mengetatkan pemantauan penggunaan dana pencegahan dan penanggulangan stunting. Kepala daerah tak boleh membeli barang yang tak terkait penanganan stunting.
"Soal pengadaan barang dan jasa. Banyak kritik soal pengadaan barang yang konon tidak substansial atau berhubungan langsung dengan upaya penanganan stunting," ucap Herdiansyah.
Menurut Herdiansyah, pemantauan penggunaan dana penanggulangan stunting sangat krusial. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah marah-marah karena mayoritas dana penanganan stunting dipakai untuk rapat dan perjalanan dinas.
Terakhir, dia meminta pemerintah membuat audit khusus untuk memastikan dana pencegahan stunting tidak dikorupsi. Saat ini, pengawasan hanya mengandalkan inspektorat dan aparat pengawas intern pemerintah (APIP).
"Dan itu tidak cukup hanya melalui inspektorat atau APIP secara internal, tapi juga mesti melibatkan kejaksaan, KPK, dan BPKP secara eksternal," kata Herdiansyah.
Alokasi masih buruk
Masalah pengelolaan anggaran penanganan stunting disebut terjadi karena buruknya alokasi oleh pemerintah daerah. Tenaga Ahli Pencegahan Korupsi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Fridolin Berek menyebut banyak uang yang sudah dicairkan digunakan untuk membeli barang yang tidak berkaitan dengan penanganan stunting.
"Kegagalan alokasi artinya anggaran dialokasikan untuk hal-hal yang tidak sesuai kebutuhan atau untuk hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan," ucap Fridolin.
Stranas PK mencatat ada beberapa daerah menggunakan dana pencegahan stunting untuk keperluan di luar kebutuhan ibu hamil. Misalnya, makanan tambahan bagi anak-anak usia sekolah.
"Faktanya berbagai daerah justru membelanjakan anggaran stunting untuk makanan tambahan bagi anak-anak usia sekolah, dan yang lebih miris lagi membelikan motor dinas bagi pegawai puskesmas atau memperbaiki pagar puskesmas," ujar Fridolin.
SIPD diyakini jadi solusi
Stranas PK menyebut permasalahan pengelolaan dana penanganan stunting bisa dicegah jika pemerintah daerah memaksimalkan penggunaan sistem informasi pemerintahan daerah (SIPD). Wadah itu diyakini dapat meminimalisasi celah korupsi.
"Nah, dengan SIPD ini sentralisasi keuangan," kata Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan.
Pahala mengatakan pemerintah daerah kerap menggunakan dana stunting seenaknya. Mereka menilai rapat dan perjalanan dinas terkait bisa dibiayai menggunakan uang tersebut.
"Kalau lihat Presiden bilang gini 'Dana stunting Rp10 miliar, jatuhnya buat beli makanan cuma Rp2 miliar.' Saya ngomong sama Pj Gubernur Sulbar Pak Atma dana stunting Rp30 miliar yang jadi buat makanan Rp5 miliar," ucap Pahala.
Polemik penggunaan dana itu diperparah karena kontrol pusat ke daerah yang lemah. Sehingga, penggunaan uang untuk menyelesaikan masalah stunting selalu tidak sesuai.
"Pusat tuh enggak berdaya ngontrolnya. Jadi duitnya dikasih ya terserah daerah mau dipakai buat apa," ujar Pahala.
Menurut dua, permasalahan itu bisa diselesaikan jika aplikasi SIPD mulai dioperasikan. Perangkat lunak itu didesain untuk mengontrol dan mengawasi penggunaan dana dari pemerintah pusat dan daerah.
Sistem itu mewajibkan pemerintah daerah untuk memakai dana sesuai dengan penggunaannya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan stakeholder terkait juga bakal mudah untuk memberikan informasi soal alokasi anggaran.
"Dibagi duit (penanganan) stunting, oke, bagi tapi dikunci tuh anggaran misalnya belanja modal," kata Pahala.
Jakarta: Kasus
stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan bersama. Masyarakat dan pemerintah mesti menganggap serius hal ini.
Khususnya pemerintah, yang memiliki pekerjaan untuk menjauhkan penanganan
stunting dari
korupsi. Penganggaran dana, dan seluruh strategi pencegahan yang sudah dibangun bakal sia-sia jika duit penanganan
stunting dicolong oknum.
Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah Castro menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sering memberikan masukan maupun kritik terkait
penanganan stunting di Indonesia. Namun, hal tersebut hanya bersifat kajian.
"
Cuma KPK sendiri tidak ada
follow up soal indikasi salah kelola dana
stunting ini," kata Herdiansyah kepada
Medcom.id, Selasa, 26 September 2023.
Menurut dia, ada tiga aspek yang harus dibenahi untuk menjauhkan korupsi dalam penanganan
stunting di Indonesia. Pertama, mengetatkan pemantauan penyaluran anggaran.
"Terutama dugaan pendanaan yang tumpang tindih antara daerah dan pusat," ujar Herdiansyah.
Dia meminta pemerintah mengetatkan pemantauan penggunaan dana pencegahan dan penanggulangan
stunting. Kepala daerah tak boleh membeli barang yang tak terkait penanganan
stunting.
"Soal pengadaan barang dan jasa. Banyak kritik soal pengadaan barang yang konon tidak substansial atau berhubungan langsung dengan upaya penanganan
stunting," ucap Herdiansyah.
Menurut Herdiansyah, pemantauan penggunaan dana penanggulangan
stunting sangat krusial. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah marah-marah karena mayoritas dana penanganan
stunting dipakai untuk rapat dan perjalanan dinas.
Terakhir, dia meminta pemerintah membuat audit khusus untuk memastikan dana pencegahan
stunting tidak dikorupsi. Saat ini, pengawasan hanya mengandalkan inspektorat dan aparat pengawas intern pemerintah (APIP).
"Dan itu tidak cukup hanya melalui inspektorat atau APIP secara internal, tapi juga mesti melibatkan kejaksaan, KPK, dan BPKP secara eksternal," kata Herdiansyah.
Alokasi masih buruk
Masalah pengelolaan anggaran penanganan
stunting disebut terjadi karena buruknya alokasi oleh pemerintah daerah. Tenaga Ahli Pencegahan Korupsi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Fridolin Berek menyebut banyak uang yang sudah dicairkan digunakan untuk membeli barang yang tidak berkaitan dengan penanganan
stunting.
"Kegagalan alokasi artinya anggaran dialokasikan untuk hal-hal yang tidak sesuai kebutuhan atau untuk hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan," ucap Fridolin.
Stranas PK mencatat ada beberapa daerah menggunakan dana pencegahan
stunting untuk keperluan di luar kebutuhan ibu hamil. Misalnya, makanan tambahan bagi anak-anak usia sekolah.
"Faktanya berbagai daerah justru membelanjakan anggaran
stunting untuk makanan tambahan bagi anak-anak usia sekolah, dan yang lebih miris lagi membelikan motor dinas bagi pegawai puskesmas atau memperbaiki pagar puskesmas," ujar Fridolin.
SIPD diyakini jadi solusi
Stranas PK menyebut permasalahan pengelolaan dana penanganan
stunting bisa dicegah jika pemerintah daerah memaksimalkan penggunaan sistem informasi pemerintahan daerah (SIPD). Wadah itu diyakini dapat meminimalisasi celah korupsi.
"Nah, dengan SIPD ini sentralisasi keuangan," kata Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan.
Pahala mengatakan pemerintah daerah kerap menggunakan dana
stunting seenaknya. Mereka menilai rapat dan perjalanan dinas terkait bisa dibiayai menggunakan uang tersebut.
"Kalau lihat Presiden bilang gini 'Dana
stunting Rp10 miliar, jatuhnya buat beli makanan cuma Rp2 miliar.' Saya ngomong sama Pj Gubernur Sulbar Pak Atma dana
stunting Rp30 miliar yang jadi buat makanan Rp5 miliar," ucap Pahala.
Polemik penggunaan dana itu diperparah karena kontrol pusat ke daerah yang lemah. Sehingga, penggunaan uang untuk menyelesaikan masalah
stunting selalu tidak sesuai.
"Pusat
tuh enggak berdaya ngontrolnya. Jadi duitnya dikasih ya terserah daerah mau dipakai buat apa," ujar Pahala.
Menurut dua, permasalahan itu bisa diselesaikan jika aplikasi SIPD mulai dioperasikan. Perangkat lunak itu didesain untuk mengontrol dan mengawasi penggunaan dana dari pemerintah pusat dan daerah.
Sistem itu mewajibkan pemerintah daerah untuk memakai dana sesuai dengan penggunaannya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan stakeholder terkait juga bakal mudah untuk memberikan informasi soal alokasi anggaran.
"Dibagi duit (penanganan) stunting, oke, bagi tapi dikunci tuh anggaran misalnya belanja modal," kata Pahala.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id(ADN)