Jakarta: Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte menyebut dakwaan penerimaan uang terhadap dirinya tak memiliki pembuktian yang kuat. Hal itu disampaikan Napoleon dalam sidang agenda pembacaan duplik pada Senin, 1 Maret 2021.
Pada perkara ini, Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap senilai SGD200 ribu (sekitar Rp2,1 miliar, kurs SGD1 = Rp10.700) dan US$270 ribu (sekitar Rp3,9 miliar, kurs US$1 = Rp14.700). Suap Rp6 miliar itu berasal dari Djoko Soegiarto Tjandra terkait penghapusan red notice.
"Bersumber dari keterangan dari (pengusaha) Tommy Sumardi sendiri saja yang tidak memiliki kekuatan pembuktikan. Sehingga tidak dapat membuktikan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi," kata Napoleon saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Maret 2021.
Selain itu, Napoleon menyinggung mengenai bukti rekaman kamera pengintai atau CCTV yang memperlihatkan pertemuan antara Tommy Sumardi dengan mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo. Menurut Napoleon, bukti rekaman itu tidak relevan.
Baca: Kasus Red Notice, Prasetijo Utomo Minta Dibebaskan
"Semua rekaman CCTV tersebut faktanya hanya menerangkan waktu keberadaan Tommy Sumardi dan Prasetijo Utomo di Gedung TNCC Mabes Polri dan tidak relevan untuk dijadikan alat bukti petunjuk yg sah," ujar Napoleon.
Di akhir duplik, Napoleon menyatakan tetap pada nota pembelaan pleidoi. Menurut dia, replik yang diajukan jaksa penuntut umum tidak didasarkan alasan serta analisa hukum yang kuat.
"Kami selaku terdakwa dalam perkara ini berkesimpulan bahwa replik JPU tidak didukung oleh argumentasi atau alasan yang kuat berdasarkan analisa fakta hukum persidangan yang relevan," tutur Napoleon.
Setelah ini majelis hakim akan menjatuhkan vonis kepada Napoleon. Vonis akan dibacakan pada Rabu, 10 Maret 2021. Majelis akan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap di persidangan.
Pada perkara ini, suap diduga diberikan kepada Napoleon agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Caranya, Napoleon memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Surat-surat tersebut membuat pihak imigrasi melakukan penghapusan DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Perbuatan tersebut turut melibatkan Brigjen Prasetijo Utomo dan pengusaha Tommy Sumardi.
Jakarta: Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte menyebut dakwaan
penerimaan uang terhadap dirinya tak memiliki pembuktian yang kuat. Hal itu disampaikan Napoleon dalam sidang agenda pembacaan duplik pada Senin, 1 Maret 2021.
Pada perkara ini, Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap senilai SGD200 ribu (sekitar Rp2,1 miliar, kurs SGD1 = Rp10.700) dan US$270 ribu (sekitar Rp3,9 miliar, kurs US$1 = Rp14.700). Suap Rp6 miliar itu berasal dari
Djoko Soegiarto Tjandra terkait penghapusan
red notice.
"Bersumber dari keterangan dari (pengusaha) Tommy Sumardi sendiri saja yang tidak memiliki kekuatan pembuktikan. Sehingga tidak dapat membuktikan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi," kata Napoleon saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (
Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Maret 2021.
Selain itu, Napoleon menyinggung mengenai bukti rekaman kamera pengintai atau CCTV yang memperlihatkan pertemuan antara Tommy Sumardi dengan mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo. Menurut Napoleon, bukti rekaman itu tidak relevan.
Baca: Kasus Red Notice, Prasetijo Utomo Minta Dibebaskan
"Semua rekaman CCTV tersebut faktanya hanya menerangkan waktu keberadaan Tommy Sumardi dan Prasetijo Utomo di Gedung TNCC Mabes Polri dan tidak relevan untuk dijadikan alat bukti petunjuk yg sah," ujar Napoleon.
Di akhir duplik, Napoleon menyatakan tetap pada nota pembelaan pleidoi. Menurut dia, replik yang diajukan jaksa penuntut umum tidak didasarkan alasan serta analisa hukum yang kuat.
"Kami selaku terdakwa dalam perkara ini berkesimpulan bahwa replik JPU tidak didukung oleh argumentasi atau alasan yang kuat berdasarkan analisa fakta hukum persidangan yang relevan," tutur Napoleon.
Setelah ini majelis hakim akan menjatuhkan vonis kepada Napoleon. Vonis akan dibacakan pada Rabu, 10 Maret 2021. Majelis akan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap di persidangan.
Pada perkara ini, suap diduga diberikan kepada Napoleon agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Caranya, Napoleon memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Surat-surat tersebut membuat pihak imigrasi melakukan penghapusan DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem
Enhanced Cekal
System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Perbuatan tersebut turut melibatkan Brigjen Prasetijo Utomo dan pengusaha Tommy Sumardi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)