Jakarta: Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo minta dibebaskan dari perkara yang didakwakan. Hal itu disampaikan Prasetijo melalui kuasa hukumnya dalam sidang agenda pembacaan duplik.
"Memohon kepada yang mulai majelis hakim, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum," kata kuasa hukum Prasetijo, Rolas Sitinjak, saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Maret 2021.
Rolas juga meminta majelis hakim menerima nota pembelaan serta duplik yang diajukan kliennya. Selain itu, majelis diminta mengabulkan permohonan justice collaborator Prasetijo.
"Mengabulkan menerima permohonan terdakwa sebagai justice collaborator. Merehabilitasi nama baik harkat martabat terdakwa," ujar Rolas.
Rolas menyebut Prasetijo tidak terbukti terlibat dalam kasus penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dari red notice. Dia juga membantah semua dalil replik dan dakwaan jaksa.
"Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo tidak pernah terlibat sama sekali serta tidak memiliki peran aktif atas terbitnya surat-surat yang dikeluarkan oleh Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri terkait status Interpol red notice Joko Soegiarto Tjandra," ujar Rolas.
Setelah ini, majelis hakim akan menjatuhkan vonis kepada Prasetijo. Vonis akan dibacakan pada Rabu, 10 Maret 2021. Majelis akan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap di persidangan.
(Baca: Polri Tak Permasalahkan Klaim Napoleon Menjadi Korban Kriminalisasi)
Pada perkara ini, Prasetijo dituntut selama 2,5 tahun penjara. Jaksa juga menjatuhkan denda pidana Rp100 juta subsider enam bulan bui. Permohonan justice collaborator yang diajukan Prasetijo turut ditolak jaksa.
Prasetijo didakwa menerima suap dari Djoko Soegiarto Tjandra senilai US$150 ribu. Suap diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Caranya, memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Menurut jaksa, surat-surat tersebut diberikan kepada pihak imigrasi untuk menghapus DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Prasetijo berperan menghubungkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan pengusaha Tommy Sumardi. Napoleon dalam perkara ini diduga menerima Rp6 miliar.
Perbuatan Prasetijo dan Napoleon dianggap bertentangan dengan jabatannya. Keduanya telah membiarkan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia yang mestinya ditangkap Polri. Mereka juga telah membuka informasi Interpol yang seharusnya dirahasiakan.
Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim
Polri Brigjen Prasetijo Utomo minta dibebaskan dari perkara yang didakwakan. Hal itu disampaikan Prasetijo melalui kuasa hukumnya dalam sidang agenda pembacaan duplik.
"Memohon kepada yang mulai majelis hakim, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum," kata kuasa hukum Prasetijo, Rolas Sitinjak, saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Maret 2021.
Rolas juga meminta majelis hakim menerima nota pembelaan serta duplik yang diajukan kliennya. Selain itu, majelis diminta mengabulkan permohonan
justice collaborator Prasetijo.
"Mengabulkan menerima permohonan terdakwa sebagai
justice collaborator. Merehabilitasi nama baik harkat martabat terdakwa," ujar Rolas.
Rolas menyebut Prasetijo tidak terbukti terlibat dalam kasus penghapusan nama
Djoko Soegiarto Tjandra dari
red notice. Dia juga membantah semua dalil replik dan dakwaan jaksa.
"Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo tidak pernah terlibat sama sekali serta tidak memiliki peran aktif atas terbitnya surat-surat yang dikeluarkan oleh Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri terkait status Interpol
red notice Joko Soegiarto Tjandra," ujar Rolas.
Setelah ini, majelis hakim akan menjatuhkan vonis kepada Prasetijo. Vonis akan dibacakan pada Rabu, 10 Maret 2021. Majelis akan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap di persidangan.
(Baca:
Polri Tak Permasalahkan Klaim Napoleon Menjadi Korban Kriminalisasi)
Pada perkara ini, Prasetijo dituntut selama 2,5 tahun penjara. Jaksa juga menjatuhkan denda pidana Rp100 juta subsider enam bulan bui. Permohonan justice collaborator yang diajukan Prasetijo turut ditolak jaksa.
Prasetijo didakwa menerima suap dari Djoko Soegiarto Tjandra senilai US$150 ribu. Suap diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Caranya, memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Menurut jaksa, surat-surat tersebut diberikan kepada pihak imigrasi untuk menghapus DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Prasetijo berperan menghubungkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan pengusaha Tommy Sumardi. Napoleon dalam perkara ini diduga menerima Rp6 miliar.
Perbuatan Prasetijo dan Napoleon dianggap bertentangan dengan jabatannya. Keduanya telah membiarkan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia yang mestinya ditangkap Polri. Mereka juga telah membuka informasi Interpol yang seharusnya dirahasiakan.
Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)