Jakarta: Pemerintah didorong menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksanaan hak-hak korban terorisme. Aturan tersebut diterbitkan sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Mendesak pemerintah agar segera menerbitkan PP pelaksanaan hak-hak korban terorisme sebagai aturan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2018, khususnya yang mengatur tentang pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme lama," kata Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, di Jakarta, Rabu, 1 Juli 2020.
UU Nomor 5 Tahun 2018 yang merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa korban terorisme merupakan tanggung jawab negara. Aturan dalam UU tersebut bisa terimplementasikan jika adanya PP sebagai aturan turunan.
Padahal dalam Pasal 46B UU tersebut memberikan tenggat waktu penerbitan peraturan pelaksana harus dibentuk hingga Juni 2019. "Artinya telah molor dua tahun lebih dari waktu yang ditargetkan," ujar Hasibullah.
Pasal 43L ayat 1 dan 2 menyebutkan, korban dari peristiwa terorisme lama atau sebelum UU revisi mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, berhak mengajukan permohonan kompensasi. Permohonan diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Nominal kompensasi dihitung dan ditetapkan oleh LPSK, setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Mekanisme pemberian kompensasi untuk korban lama tidak melalui pengadilan tetapi berdasarkan asesmen LPSK.
Baca: Operasi Perburuan Kelompok Teroris Ali Kalora Diperpanjang
Namun, terdapat sejumlah ketentuan yang dikhawatirkan berdampak pada korban peristiwa terorisme yang lama. Menurut Hasibullah, adanya tenggat waktu permohonan, yakni diajukan paling lambat tiga tahun sejak UU ini ditetapkan. Artinya tenggat waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme lama maksimal Juni 2021.
"Sementara pada ayat 7 pasal 43L dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan korban lama serta pelaksanaannya diatur dengan PP," ujar Hasibullah.
Naskah PP yang dimaksud hingga kini masih berada di pihak-pihak terkait. Padahal, kata Hasibullah, PP dapat menjadi pedoman operasional optimalisasi pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme.
Dia menegaskan kompensasi penting sebagai amanat UU sekaligus menegakkan keadilan bagi para korban. Selain itu, pemberian kompensasi bagi korban terorisme lama mesti menjunjung asas keadilan dan kebijaksanaan.
"Mendorong masyarakat untuk tetap selalu waspada terhadap aksi-aksi terorisme yang masih menjadi ancaman serius, meski dalam situasi pandemi covid-19," ujar Hasibullah.
Jakarta: Pemerintah didorong menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksanaan hak-hak korban terorisme. Aturan tersebut diterbitkan sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Mendesak pemerintah agar segera menerbitkan PP pelaksanaan hak-hak korban terorisme sebagai aturan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2018, khususnya yang mengatur tentang pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme lama," kata Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, di Jakarta, Rabu, 1 Juli 2020.
UU Nomor 5 Tahun 2018 yang merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa korban terorisme merupakan tanggung jawab negara. Aturan dalam UU tersebut bisa terimplementasikan jika adanya PP sebagai aturan turunan.
Padahal dalam Pasal 46B UU tersebut memberikan tenggat waktu penerbitan peraturan pelaksana harus dibentuk hingga Juni 2019. "Artinya telah molor dua tahun lebih dari waktu yang ditargetkan," ujar Hasibullah.
Pasal 43L ayat 1 dan 2 menyebutkan, korban dari peristiwa terorisme lama atau sebelum UU revisi mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, berhak mengajukan permohonan kompensasi. Permohonan diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Nominal kompensasi dihitung dan ditetapkan oleh LPSK, setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Mekanisme pemberian kompensasi untuk korban lama tidak melalui pengadilan tetapi berdasarkan asesmen LPSK.
Baca:
Operasi Perburuan Kelompok Teroris Ali Kalora Diperpanjang
Namun, terdapat sejumlah ketentuan yang dikhawatirkan berdampak pada korban peristiwa terorisme yang lama. Menurut Hasibullah, adanya tenggat waktu permohonan, yakni diajukan paling lambat tiga tahun sejak UU ini ditetapkan. Artinya tenggat waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme lama maksimal Juni 2021.
"Sementara pada ayat 7 pasal 43L dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan korban lama serta pelaksanaannya diatur dengan PP," ujar Hasibullah.
Naskah PP yang dimaksud hingga kini masih berada di pihak-pihak terkait. Padahal, kata Hasibullah, PP dapat menjadi pedoman operasional optimalisasi pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme.
Dia menegaskan kompensasi penting sebagai amanat UU sekaligus menegakkan keadilan bagi para korban. Selain itu, pemberian kompensasi bagi korban terorisme lama mesti menjunjung asas keadilan dan kebijaksanaan.
"Mendorong masyarakat untuk tetap selalu waspada terhadap aksi-aksi terorisme yang masih menjadi ancaman serius, meski dalam situasi pandemi covid-19," ujar Hasibullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)