Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan menindaklanjuti kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap ribuan buruh migran Indonesia di Sabah, Malaysia. Perkara perbudakan modern itu rencananya dibawa menjadi kasus internasional.
"Temuan fakta, memang betul kasus deportasi khususnya Sabah sektor sawit ini memang terus terjadi dan berulang kali," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers secara daring, Rabu, 5 Agustus 2020.
Menurut dia, kasus pelanggaran HAM tersebut pertama kali mencuat pada 2002. Sebanyak 480 ribu buruh migran Indonesia disiksa di tempat penahanan sementara (TPS) sebelum dideportasi dari Sabah.
Kasus kembali terjadi saat pandemi covid-19. Sebanyak 900 buruh migran Indonesia yang rencananya dideportasi pada Februari 2020 harus tertahan lama di TPS Sabah.
Mereka tidak mendapatkan fasilitas kesehatan, akses air bersih dan makanan yang layak selama berada di TPS. Keluarga pun tidak diizinkan bertemu dan berkomunikasi.
Pelanggaran HAM tersebut dilakukan hingga akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia pada Juli 2020. Proses pemulangan buruh migran ke daerah asal masing-masing juga tertahan.
"Ini berlangsung terus tidak ada satu titik poin atau jalan keluar," ucap Choirul.
Komnas HAM bekerja sama dengan Surunhanjaya HAM Malaysia (Suhakam) menindaklanjuti temuan pelanggaran HAM itu. Kasus perbudakan tersebut, kata Choirul, masuk ranah hukum HAM internasional.
"Kami harus buka dan jadi kasus perhatian dunia. Kami memanggil semua negara yang memiliki orientasi HAM menyelesaikan kasus PTS ini," tegas Choirul.
Baca: 19 Pekerja Migran Ditemukan di Penampungan Ilegal
Dia meminta Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pemerintah daerah terkait, dan perusahaan yang menikmati hasil sawit dari perbudakan ini bertanggung jawab. Selain itu, Komnas HAM akan menggandeng Satuan Tugas Penanganan Covid-19 terkait protokol kesehatan yang tak diindahkan saat proses penahanan dan pemulangan 900 migran Indonesia.
"Kami tidak hanya akan menyelesaikan kasus ini, tapi juga mencegah kasus pelanggaran HAM terjadi di kemudian hari," jelas Choirul.
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan menindaklanjuti kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap ribuan buruh migran Indonesia di Sabah, Malaysia. Perkara perbudakan modern itu rencananya dibawa menjadi kasus internasional.
"Temuan fakta, memang betul kasus deportasi khususnya Sabah sektor sawit ini memang terus terjadi dan berulang kali," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers secara daring, Rabu, 5 Agustus 2020.
Menurut dia, kasus pelanggaran HAM tersebut pertama kali mencuat pada 2002. Sebanyak 480 ribu buruh migran Indonesia disiksa di tempat penahanan sementara (TPS) sebelum dideportasi dari Sabah.
Kasus kembali terjadi saat pandemi covid-19. Sebanyak 900 buruh migran Indonesia yang rencananya dideportasi pada Februari 2020 harus tertahan lama di TPS Sabah.
Mereka tidak mendapatkan fasilitas kesehatan, akses air bersih dan makanan yang layak selama berada di TPS. Keluarga pun tidak diizinkan bertemu dan berkomunikasi.
Pelanggaran HAM tersebut dilakukan hingga akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia pada Juli 2020. Proses pemulangan buruh migran ke daerah asal masing-masing juga tertahan.
"Ini berlangsung terus tidak ada satu titik poin atau jalan keluar," ucap Choirul.
Komnas HAM bekerja sama dengan Surunhanjaya HAM Malaysia (Suhakam) menindaklanjuti temuan pelanggaran HAM itu. Kasus perbudakan tersebut, kata Choirul, masuk ranah hukum HAM internasional.
"Kami harus buka dan jadi kasus perhatian dunia. Kami memanggil semua negara yang memiliki orientasi HAM menyelesaikan kasus PTS ini," tegas Choirul.
Baca:
19 Pekerja Migran Ditemukan di Penampungan Ilegal
Dia meminta Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pemerintah daerah terkait, dan perusahaan yang menikmati hasil sawit dari perbudakan ini bertanggung jawab. Selain itu, Komnas HAM akan menggandeng Satuan Tugas Penanganan Covid-19 terkait protokol kesehatan yang tak diindahkan saat proses penahanan dan pemulangan 900 migran Indonesia.
"Kami tidak hanya akan menyelesaikan kasus ini, tapi juga mencegah kasus pelanggaran HAM terjadi di kemudian hari," jelas Choirul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)