Jakarta: Lima warga negara yang berprofesi sebagai mahasiswa, dosen, dan pegawai menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya, mengenai aturan pengangkatan penjabat kepala daerah.
"Para pemohon merasa telah terampas haknya untuk memilih kepala daerah secara langsung karena pimpinan daerah ditunjuk penjabat kepala daerah jika 2022 diberlakukan Pasal 201 ayat 10 dan 11 UU Pilkada," ujar kuasa hukum pemohon, Sulistyowati, dalam sidang uji materi dengan agenda pemeriksaan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu, 9 Februari 2022.
Sulistyowati mengatakan para pemohon terpaksa menerima penjabat untuk memimpin daerah mereka yang bukan dari hasil pemilihan umum. Kondisi itu dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Ia menerangkan Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada mengatur soal mekanisme pengisian kekosongan jabatan gubernur. Merujuk aturan tersebut, penjabat yang bisa diangkat berasal dari pimpinan madya, dan berlaku sampai pelantikan gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca: DPR Tak Masalah UU IKN Digugat
Sementara itu, Pasal 201 ayat 11 UU Pilkada berbunyi; untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota diangkat penjabat dari pimpinan tinggi pratama sampai pelantikan bupati atau wali kota seusai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Para pemohon, yakni Suzie Alancy Firman, Moch. Sidik, Rahmatulloh, Mohammad Syaiful Jihad, dan Dewi Nadya Maharani meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto dan anggota Enny Nurbaningsih serta Manahan MP. Sitompul memberikan saran perbaikan.
"Pemohon sampaikan pemilih di Provinsi DKI. Ini harus jelas, tentunya yang dipersoalkan tidak hanya penjabat di provinsi, tapi bupati dan wali kota tentu harus Anda jelaskan. Harus jelas di mana kerugian konstitusional para pemohon," ujar Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul.
Jakarta: Lima warga negara yang berprofesi sebagai mahasiswa, dosen, dan pegawai menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada) ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya, mengenai aturan pengangkatan penjabat kepala daerah.
"Para pemohon merasa telah terampas haknya untuk memilih kepala daerah secara langsung karena pimpinan daerah ditunjuk penjabat kepala daerah jika 2022 diberlakukan Pasal 201 ayat 10 dan 11 UU Pilkada," ujar kuasa hukum pemohon, Sulistyowati, dalam sidang uji materi dengan agenda pemeriksaan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu, 9 Februari 2022.
Sulistyowati mengatakan para pemohon terpaksa menerima penjabat untuk memimpin daerah mereka yang bukan dari hasil pemilihan umum. Kondisi itu dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Ia menerangkan Pasal 201 ayat 10 UU
Pilkada mengatur soal mekanisme pengisian kekosongan jabatan gubernur. Merujuk aturan tersebut, penjabat yang bisa diangkat berasal dari pimpinan madya, dan berlaku sampai pelantikan gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca:
DPR Tak Masalah UU IKN Digugat
Sementara itu, Pasal 201 ayat 11 UU Pilkada berbunyi;
untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota diangkat penjabat dari pimpinan tinggi pratama sampai pelantikan bupati atau wali kota seusai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Para pemohon, yakni Suzie Alancy Firman, Moch. Sidik, Rahmatulloh, Mohammad Syaiful Jihad, dan Dewi Nadya Maharani meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto dan anggota Enny Nurbaningsih serta Manahan MP. Sitompul memberikan saran perbaikan.
"Pemohon sampaikan pemilih di Provinsi DKI. Ini harus jelas, tentunya yang dipersoalkan tidak hanya penjabat di provinsi, tapi bupati dan wali kota tentu harus Anda jelaskan. Harus jelas di mana kerugian konstitusional para pemohon," ujar Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)