Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Riau M Syahrir (memakai rompi tahanan KPK). (Medcom.id/Candra)
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Riau M Syahrir (memakai rompi tahanan KPK). (Medcom.id/Candra)

Sebagian HGU yang Dikerjakan Kepala Kanwil BPN Riau Dibarengi Penerimaan Suap

Candra Yuri Nuralam • 11 Desember 2022 07:47
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga sebagian pengurusan hak guna usaha (HGU) yang dikerjakan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir diberengi dengan pemberian uang. Tiga saksi membeberkan pemberian itu ke penyidik.
 
"Ketiga saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan aliran penerimaan uang oleh tersangka MS (M Syahrir) dari pengurusan izin HGU," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Minggu, 11 Desember 2022.
 
Ketiga saksi itu yakni Accounting Riana Iskandar, staf legal PT Peputra Supra Jaya Fitriawati dan mantan Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran pada Kanwil Maluku Utara Tentrem Prihatin. Ali enggan memerinci lebih lanjut pertanyaan penyidik demi menjaga kerahasiaan proses penyidikan.

Kasus ini bermula ketika pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya meminta General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso untuk mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang akan berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
 
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
 
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank langsung menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi mahar yang diminta Syahrir.

Baca: KPK Cecar Politikus Demokrat Soal Rapat di Komisi VI dengan Garuda Indonesia


Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap berlangsung.
 
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu,
 
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
 
Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan