Jakarta: Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih sempat mendesak PT PLN Persero agar proyek PLTU Riau-I tetap dimasukkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Proyek digarap perusahaan Johannes Budisutrisno Kotjo, Blackgold Natural Resources Limites.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero Supangkat Iwan Santoso menyebut proyek PLTU Riau-I sempat direncanakan dikeluarkan dari RUPTL
"Memang ada dorongan. Kira-kira jangan dikeluarkan lah dari RUPTL. Saat itu ukurannya 1x600 atau 2x300 megawatt," kata Iwan saat bersaksi untuk Idrus Marham di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 12 Februari 2019.
Baca: Sofyan Basir Bersaksi untuk Idrus Marham
Menurut Iwan, Eni juga mendorong agar kontrak kerja sama antara PLN dan investor yang diwakili Kotjo segera dirampungkan. Padahal, saat itu sempat terjadi deadlock.
Ada tawar-menawar tentang masa pengendalian yang diminta PLN. PLN meminta 15 tahun, sementara pihak Kotjo meminta 20 tahun. Namun, saat itu, PLN menganggap Eni hanya wakil DPR yang menangani bidang energi.
"Dia tidak tahu teknis tapi minta lebih cepat dilakukan kesepakatan," jelas Iwan.
Idrus Marham didakwa menerima suap Rp2,250 miliar dari bos BlackGold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK). Dia didakwa menerima suap bersama Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih (EMS).
Baca: Eni Disebut Akan Memudahkan Lobi dengan PLN
Suap itu diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR), dan China Huadian Engineering Company (CHEC). PT BNR dan CHEC adealah perusahaan yang dibawa Kotjo.
Idrus berkomunikasi dengan Eni pada 2017. Idrus selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni selaku bendahara penyelenggara untuk meminta uang USD2,5 juta ke Kotjo. Uang itu guna keperluan Munaslub Golkar 2017.
Atas perbuatannya, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Jakarta: Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih sempat mendesak PT PLN Persero agar proyek PLTU Riau-I tetap dimasukkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Proyek digarap perusahaan Johannes Budisutrisno Kotjo, Blackgold Natural Resources Limites.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero Supangkat Iwan Santoso menyebut proyek PLTU Riau-I sempat direncanakan dikeluarkan dari RUPTL
"Memang ada dorongan. Kira-kira jangan dikeluarkan lah dari RUPTL. Saat itu ukurannya 1x600 atau 2x300 megawatt," kata Iwan saat bersaksi untuk Idrus Marham di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 12 Februari 2019.
Baca: Sofyan Basir Bersaksi untuk Idrus Marham
Menurut Iwan, Eni juga mendorong agar kontrak kerja sama antara PLN dan investor yang diwakili Kotjo segera dirampungkan. Padahal, saat itu sempat terjadi
deadlock.
Ada tawar-menawar tentang masa pengendalian yang diminta PLN. PLN meminta 15 tahun, sementara pihak Kotjo meminta 20 tahun. Namun, saat itu, PLN menganggap Eni hanya wakil DPR yang menangani bidang energi.
"Dia tidak tahu teknis tapi minta lebih cepat dilakukan kesepakatan," jelas Iwan.
Idrus Marham didakwa menerima suap Rp2,250 miliar dari bos BlackGold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK). Dia didakwa menerima suap bersama Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih (EMS).
Baca: Eni Disebut Akan Memudahkan Lobi dengan PLN
Suap itu diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR), dan China Huadian Engineering Company (CHEC). PT BNR dan CHEC adealah perusahaan yang dibawa Kotjo.
Idrus berkomunikasi dengan Eni pada 2017. Idrus selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni selaku bendahara penyelenggara untuk meminta uang USD2,5 juta ke Kotjo. Uang itu guna keperluan Munaslub Golkar 2017.
Atas perbuatannya, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)